Pulau Penggikik Milik Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat, Dugaan Manipulasi Norma Dalam Perda Kabupaten Bintan Kepulauan Riau (Kepri)

Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak dan Tim Pakar IKAL Kalimantan Barat

Liputan Aktual.id, Pontianak: Berikut adalah analisis terhadap dokumen-dokumen dan pernyataan dengan pendekatan hukum tata negara, hukum internasional, dan sejarah hukum kolonial, khususnya dalam konteks:

  1. Politik Kolonial Belanda di Pontianak
  2. Sejarah Masa Revolusi Fisik Riau
  3. Manipulasi norma dalam Pasal 20 ayat (8) Perda No. 19 Tahun 2007
  4. Status wilayah bekas keresidenan Westerafdeeling van Borneo dan DIKB

1: Politik dan Perdagangan Kolonial Belanda di Pontianak

Tautan: https://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=737916

Isi pokok: Menjelaskan dominasi Belanda di wilayah Kesultanan Pontianak melalui pendekatan ekonomi (VOC lalu Hindia Belanda).

Wilayah Pontianak adalah bagian dari Westerafdeeling van Borneo yang dibentuk pada awal abad ke-20 sebagai unit administratif kolonial. Afdelling Pontianak tidak pernah menjadi bagian dari keresidenan Sumatera.

Benang merah: Secara yuridis dan administratif, Pontianak dan sekitarnya berada di bawah struktur administrasi Kalimantan Barat (Afdeeling Pontianak, Residentie Westerafdeeling van Borneo) sejak sebelum tahun 1900-an. Tidak pernah berada dalam wilayah Sumatra Tengah, apalagi Keresidenan Riau.

2:  Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Riau

Tautan: https://repositori.kemendikdasmen.go.id/27475/1/SEJARAH%20MASA%20REVOLUSI%20FISIK%20DAERAH%20RIAU.pdf

Isi pokok: Mengupas perlawanan rakyat Riau terhadap Belanda dalam konteks revolusi fisik.

Mencatat wilayah-wilayah perjuangan seperti Indragiri, Bengkalis, Tanjungpinang. Tidak menyebut Pulau Pengikik atau Kabupaten Mempawah, yang berarti tidak ada koneksi langsung ke sejarah administratif Kalimantan Barat.

Benang merah: Wilayah perjuangan dan kekuasaan de facto maupun de jure di Riau tidak mencakup wilayah Kalimantan Barat, termasuk Pulau Pengikik. Jadi tidak sah secara historis dan hukum jika Pulau Pengikik dimasukkan dalam Perda Riau.

3. Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan No. 19 Tahun 2007

Bunyi: “Batas Timur wilayah Bintan berbatasan dengan Pulau Datuk.”

Namun kemudian dalam peta wilayah ditambahkan Pulau Pengikik sebagai batas, padahal Pulau Pengikik secara historis dan administrasi berada di bawah Kabupaten Mempawah/Kalimantan Barat.

Dugaan penyelundupan norma: Ada penyimpangan antara teks pasal dan tafsir dalam peta wilayah yang tidak konsisten dengan sejarah hukum kolonial dan batas teritorial historis. ini berpotensi sebagai manipulasi norma, karena mengubah status wilayah dengan cara melampaui kewenangan yuridis Perda.

4. Status Kabupaten Mempawah dan DIKB

Kabupaten Mempawah dahulu dikenal sebagai Kabupaten Pontianak, yang merupakan bagian dari Westerafdeeling van Borneo, berdasarkan sistem administratif Hindia Belanda. Berdasarkan Protokol KMB 1949, wilayah ini menjadi bagian dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dalam struktur Republik Indonesia Serikat (RIS). DIKB memiliki dasar hukum internasional sebagai entitas federatif yang diakui secara bilateral oleh Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia.

Kesimpulan yuridis:
Pulau Pengikik dan Kabupaten Mempawah tidak pernah menjadi bagian dari Riau atau Sumatera Tengah, baik secara historis, administratif kolonial, maupun dalam struktur federasi RIS. Perlu ada koreksi hukum atas pengaturan batas yang melibatkan Pulau Pengikik dalam Perda Bintan, karena bertentangan dengan prinsip kebenaran historis dan asas legalitas wilayah.

Rekomendasi Analisis Lanjutan:

  1. Uji Materiil ke Mahkamah Agung atas Perda No. 19 Tahun 2007.
  2. Kaji ulang peta batas wilayah dalam peta geospasial BIG terhadap bukti sejarah.
  3. Susun dokumen resmi “Historical Legal Claim” dari Pemerintah Kalimantan Barat untuk klarifikasi batas wilayah berdasarkan dokumen kolonial, protokol KMB, dan hukum positif Indonesia.
  4. Polemik Pulau Pengikik dan Posisi Konstitusional Kalimantan Barat

Polemik lepasnya Pulau Pengikik Besar dan Kecil dari wilayah administratif Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, ke dalam wilayah Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, menjadi isu serius yang mendapat tanggapan langsung dari Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, sebagaimana diberitakan oleh Inside Pontianak pada 11 Juli 2025. Dalam pernyataannya, Wakil Gubernur menegaskan bahwa dirinya sedang mempelajari persoalan ini secara hati-hati dan menyatakan akan melawan secara hukum apabila terbukti secara historis bahwa Pulau Pengikik adalah milik Kalbar.

Kekuatan Historis dan Legalitas Wilayah

Sikap Wakil Gubernur ini sepenuhnya sejalan dengan prinsip uti possidetis juris dalam hukum internasional, yakni bahwa wilayah baru harus mengikuti batas administratif pada saat kemerdekaan. Secara historis dan administratif, Pulau Pengikik merupakan bagian dari Afdeeling Pontianak dalam Keresidenan Westerafdeeling van Borneo, Hindia Belanda. Wilayah ini kemudian menjadi bagian dari Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan Protokol Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, dan akhirnya masuk dalam struktur Kabupaten Mempawah di Kalimantan Barat setelah Republik Indonesia menjadi negara kesatuan.

Dokumen sejarah ini membuktikan bahwa Pulau Pengikik tidak pernah menjadi bagian dari wilayah administratif Kepulauan Riau atau Sumatera Tengah. Maka, jika Pulau Pengikik dipetakan dalam wilayah Bintan berdasarkan peta turunan atau keputusan administratif, tanpa dukungan sejarah dan hukum yang sah, maka tindakan tersebut adalah cacat hukum dan dapat digugat.

Penyelundupan Norma dan Cacat Prosedural Permasalahan menjadi kompleks karena dalam Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007, disebutkan bahwa batas timur Kabupaten Bintan adalah Pulau Datuk, bukan Pulau Pengikik. Namun dalam peta wilayah, justru disisipkan Pulau Pengikik sebagai bagian dari wilayah tersebut. Ini merupakan bentuk penyelundupan norma hukum (legal smuggling), karena terjadi perbedaan antara isi norma (teks pasal) dan pelaksanaannya (peta wilayah), yang melanggar asas legalitas dan asas ketertiban administrasi negara.

Terlebih lagi, terdapat berita acara batas wilayah antara Provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat yang tidak melibatkan Kabupaten Mempawah sebagai pemilik sah wilayah tersebut. Padahal berdasarkan Permendagri No. 141 Tahun 2017, pelibatan kabupaten/kota yang bersangkutan adalah syarat mutlak dalam proses penegasan batas. Dengan demikian, berita acara tersebut tidak sah secara administratif, karena cacat prosedural dan melanggar Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), terutama asas partisipasi dan transparansi.

Kesiapan Kalbar: Langkah Konstitusional dan Administratif

Pernyataan Wakil Gubernur Kalbar menunjukkan sikap hati-hati dan taat konstitusi, karena menunggu “data valid sesuai histori” sebelum bertindak. Ini mencerminkan prinsip due process of law yang penting dalam penyelesaian konflik antarwilayah. Sekaligus menunjukkan bahwa Kalbar memahami bahwa penguasaan wilayah tidak hanya berdasar keputusan administratif, tetapi harus berdasar hukum historis dan konstitusional yang sah.

Keputusan Mendagri No. 100.1.1-6117 Tahun 2022, yang mencantumkan pemutakhiran kode wilayah administrasi termasuk Pulau Pengikik dalam wilayah Kepulauan Riau, bukanlah keputusan konstitutif (penciptaan hak baru), melainkan bersifat administratif dan dapat dikoreksi jika bertentangan dengan sejarah dan hukum formal.

Penutup: Posisi Kalimantan Barat dan Kepastian Hukum

Dengan mempertimbangkan sejarah kolonial, status DIKB berdasarkan hukum internasional (Protokol KMB), UU pembentukan provinsi, asas legalitas dan prosedur administratif, serta asas tata negara, maka klaim Kalbar atas Pulau Pengikik memiliki dasar hukum yang sangat kuat.

Sikap Wakil Gubernur yang akan “melawan” jika ditemukan dasar sah atas klaim tersebut merupakan bentuk pembelaan konstitusional atas wilayah provinsi, yang dapat diaktualisasikan dalam bentuk:

  1. Surat Keberatan Resmi ke Kemendagri dan BIG;
  2. Permintaan revisi kode wilayah dalam database nasional;
  3. Pengajuan uji materiil ke Mahkamah Agung terhadap Perda Bintan No. 19 Tahun 2007;
  4. Penyusunan Legal Opinion berbasis sejarah hukum dan perjanjian internasional;
  5. Penyelesaian melalui Mahkamah Konstitusi apabila terjadi konflik kewenangan antar pemerintah daerah.
Related posts