Pulau Pengikik: Mengenal Lebih Dalam Fakta Sejarah Wilayah DIKB, 1947,1948,1949 hingga menjadi wilayah Provinsi Kalimantan Barat

Dok.Pelantikan Sultan Hamid II sebagai Kepala daerah Istimewa Kalimantan Barat DIKB 1948 dejure

Oleh; Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak dan Tim Pakar IKAL Kalimantan Barat

Liputan Aktual.id, Pontianak Berikut narasi legal opinion korelatif yang menghubungkan konflik batas wilayah Pulau Pengikik, analisis hukum terhadap Perda Bintan, serta peran historis dan konstitusional Kesultanan Pontianak dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau Bergabungnya DIKB dan Riau dengan Negara Republik Indonesia berdasarkan Protokol PBB 21 Desember 1949, lampiran dokumen hukum internasional pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 yang yuridiksi saat menjadi wilayah Kalimantan Barat, walaupun berubah atau direvisi Undang Undang induk Pembentukan Provinsi Kalimantan Barat, tidaklah merubah wilayah batas Provinsinya dan wilayah maritim dan administrasi pemerintahan kerajaan dan kesultanan yang bergabung kedalam DIKB, jangan lupakan dokumen hukum sejarah Kalimantan Barat, yang diperingati 1 Januari 1950 setiap tahun sebagai Hari Pemda Kalimantan Barat.

LEGAL OPINION TERKORELASI

Tentang:
Konflik Hukum Wilayah Pulau Pengikik, Ketidaksahan Kontrak Kolonial 1857, serta Posisi Konstitusional Kesultanan Pontianak dalam Pembentukan NKRI dan Penegasan Wilayah Kalimantan Barat

Disusun oleh:
Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, S.H., M.Hum. Menteri Dalam Negeri Kesultanan Pontianak Ahli Hukum Tata Negara dan Sejarah Hukum Republik Indonesia

I. KORELASI SEJARAH KONSTITUSIONAL DAN PERAN KESULTANAN PONTIANAK DALAM NKRI

Kesultanan Pontianak merupakan entitas historis yang aktif terlibat dalam proses pembentukan NKRI, bukan sekadar simbol adat. Hal ini dibuktikan melalui peran Sultan Hamid II, yang memiliki legitimasi konstitusional dan kontribusi nasional strategis, yaitu:

  1. Presiden Negara Kalimantan Barat dalam kerangka Republik Indonesia Serikat (RIS) yang sah secara internasional berdasar Protokol KMB 21 Desember 1949.
  2. Menteri Negara Kabinet Mohammad Hatta, sehingga berperan aktif dalam integrasi negara bagian ke NKRI.
  3. Perancang Lambang Negara Garuda Pancasila, yang disahkan Presiden Soekarno tahun 1950, menjadikan beliau bagian tak terpisahkan dari simbol kenegaraan NKRI.

Pasal 36A UUD 1945: “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” Rancangan lambang ini merupakan warisan hukum dari Sultan Hamid II sebagai representasi integrasi nilai adat, budaya lokal, dan nasionalisme Indonesia.

II. STATUS DAERAH ISTIMEWA KALIMANTAN BARAT (DIKB)

Kesultanan Pontianak menjadi tulang punggung Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) tahun 1947, yang: Diakui secara internasional melalui dokumen Protokol Penyerahan Kedaulatan 27 Desember 1949, bersama Riau dan negara-negara bagian RIS lainnya. Memiliki wilayah administratif sendiri, termasuk Pulau Pengikik, yang tidak pernah menjadi bagian dari Sumatera Tengah atau Kesultanan Lingga-Riau.

Namun status DIKB kemudian dihapus secara sepihak melalui PP RIS No. 21 Tahun 1950, yang diberlakukan surut ke 17 Agustus 1945. Hal ini merupakan bentuk penyeragaman wilayah tanpa partisipasi entitas kenegaraan lokal, bertentangan dengan prinsip non-retroaktif dalam hukum tata negara dan asas legalitas.

III. KONFLIK HUKUM PERDA BINTAN NO. 19 TAHUN 2007 DAN WILAYAH PULAU PENGIKIK

Pasal 20 ayat (8) perda ini menyatakan: Batas Timur Kecamatan Tambelan berbatasan dengan Pulau Datok, Provinsi Kalimantan Barat.”Namun dalam peta administratif, diselundupkan klaim atas Pulau Pengikik, yang: Tidak pernah disebut eksplisit dalam norma pasal. Tidak pernah masuk yurisdiksi historis atau administratif Kesultanan Lingga-Riau. Justru masuk wilayah Afdeeling Pontianak (Hindia Belanda) dan kemudian wilayah DIKB sejak 1947.

Pasal 18 UUD 1945: “Negara dibagi atas daerah-daerah provinsi.”

Pasal 22D UUD 1945: “DPD RI melakukan pengawasan atas pelaksanaan otonomi daerah.”

Oleh karena itu, tindakan pengklaiman sepihak oleh Perda Kabupaten Bintan tidak sah secara hukum, dan bertentangan dengan:

  1. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
  2. Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah
  3. UU No. 9 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Barat

IV. KEPRIHATINAN KONSTITUSIONAL DAN ASPIRASI KEKINIYAN KESULTANAN PONTIANAK

Kesultanan Pontianak bukan entitas adat biasa. Kesultanan ini: Berperan dalam pembentukan NKRI melalui Sultan Hamid II. Memiliki hak moral dan historis untuk berpartisipasi dalam penegasan wilayah. Menyampaikan aspirasi konstitusional kepada Ketua DPD RI, antara lain:

  1. Revitalisasi istana dan warisan budaya Melayu.
  2. Perlindungan hak ulayat atas tanah adat.
  3. Pelibatan kerajaan dalam kebijakan budaya dan sejarah lokal.
  4.  Validasi status hukum Kesultanan dalam sistem NKRI.

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti telah menyatakan komitmen konstitusional untuk: Melindungi kerajaan Nusantara sebagai sumber identitas budaya bangsa, demikian juga Sultan Syarif Melvin AlKadrie SH selaku Senator ,DPD RI wakil Kalimantan Barat Memastikan posisi hukum kerajaan tidak terabaikan dalam pembangunan nasional.

V. PENUTUP DAN REKOMENDASI

Dengan demikian, klaim sepihak atas Pulau Pengikik oleh Kabupaten Bintan dan Provinsi Kepulauan Riau:

Bertentangan dengan hukum positif nasional. Melanggar prinsip sejarah konstitusional DIKB. Mengabaikan kontribusi sah Kesultanan Pontianak terhadap pembentukan NKRI.

REKOMENDASI HUKUM:

  1. Mendesak Judicial Review atas Perda Bintan No. 19 Tahun 2007 ke Mahkamah Agung.
  2. Mengajukan revisi kode wilayah administratif Pulau Pengikik ke Kemendagri dan BIG.
  3. Membentuk Tim Verifikasi Bersama yang melibatkan Kesultanan Pontianak, DPD RI, sejarawan, dan ahli geospasial.
  4. Mendorong pengakuan formal kembali atas peran DIKB dan Kesultanan Pontianak, sejajar dengan pengakuan Yogyakarta.

KESIMPULAN FINAL:

Pulau Pengikik secara yuridis dan historis adalah bagian dari Kalimantan Barat, dan Kesultanan Pontianak adalah entitas konstitusional yang sah dalam proses lahirnya NKRI. Segala bentuk pengabaian terhadap fakta ini adalah bentuk pengingkaran terhadap sejarah dan hukum negara, dan harus diluruskan melalui langkah konstitusional, administratif, dan legal.

Related posts