Hari Radio ke-80, Transformasi RRI, dan Relevansinya bagi Kalimantan Barat

Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur

Sebagai seorang pengamat hukum, dosen, dan pemerhati budaya lokal, saya, Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, melihat Hari Radio ke-80 bukan hanya momentum nasional, tetapi juga relevan bagi Kalimantan Barat (Kalbar). Wilayah ini memiliki karakteristik sosial-budaya yang unik: keberagaman etnis, kearifan lokal, dan potensi ekonomi kreatif yang besar, terutama di tepian sungai Kapuas, Pontianak, dan kawasan pedalaman seperti Sintang dan Landak.

RRI, dengan transformasi digital melalui platform RRI Digital dan RRI NET, memiliki peran strategis untuk menjembatani informasi nasional dengan kearifan lokal Kalbar. Radio dapat menyuarakan program edukasi, budaya, dan hukum yang relevan bagi masyarakat Dayak, Melayu, dan etnis lain, sekaligus memfasilitasi penyebaran informasi publik yang sahih, terutama terkait hukum tata negara, pembangunan daerah, dan program pemerintah.Dalam konteks Kalbar, radio tetap menjadi media yang efektif karena karakter geografis wilayah ini: banyak daerah terpencil yang sulit dijangkau internet stabil, sehingga siaran radio tradisional masih memegang peran vital. Transformasi digital RRI, yang memungkinkan visualisasi siaran dan akses multiplatform, membuka peluang bagi generasi muda di Kalbar untuk tetap terkoneksi dengan perkembangan nasional tanpa kehilangan identitas lokal.

Selain itu, radio dapat menjadi medium penguatan budaya dan ekonomi kreatif lokal, misalnya menyiarkan cerita rakyat, bahasa daerah, maupun program UKM lokal yang berkembang di tepian sungai dan kampung budaya. Hal ini sejalan dengan semangat saya dalam pendidikan hukum dan semiotika: simbol, suara, dan pesan media harus bisa diterjemahkan ke konteks lokal untuk membangun kesadaran hukum, budaya, dan sosial yang adaptif.

Dengan Hari Radio ke-80, saya berharap RRI menjadi wahana integrasi informasi dan kearifan lokal Kalimantan Barat: mengedukasi masyarakat tentang hukum, demokrasi, dan sejarah bangsa, sekaligus menjaga identitas budaya yang unik. Radio bukan hanya gelombang suara, tetapi juga medium penjaga informasi, pendidikan, dan peradaban di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kalbar.

Sekali lagi selamat HUT Hari Radio ke-80, dalam perspektif Refleksi dan Inspirasi Menyambut Hari Radio ke-80 , Berkali kali menjadi Nara sumber perjalanan RRI Pontianak yang mana saya sebagai salah satu saksi pengamat perjalanan media penyiaran di Indonesia, saya, Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, melihat Hari Radio ke-80 sebagai momentum refleksi sekaligus inovasi. RRI bukan sekadar lembaga penyiaran; ia adalah simbol keberlanjutan informasi, pendidikan, dan budaya bangsa yang telah melewati berbagai dinamika politik, sosial, dan teknologi sejak 11 September 1945.

Perjalanan RRI mengajarkan kita bahwa media memiliki tanggung jawab tidak hanya untuk menyebarkan informasi, tetapi juga membentuk kesadaran hukum dan moral publik. Dari perspektif hukum tata negara dan semiotika hukum yang saya kembangkan, radio adalah medium simbolik yang merepresentasikan suara rakyat, aspirasi bangsa, dan prinsip demokrasi yang inklusif. Setiap siaran yang keluar dari gelombang RRI bukan hanya frekuensi radio, tetapi pesan sejarah yang harus dipahami, dikaji, dan diterjemahkan secara kritis.

Di era digital saat ini, transformasi RRI melalui platform RRI Digital dan RRI NET menunjukkan bahwa media tradisional dapat beradaptasi tanpa kehilangan identitasnya. Digitalisasi radio bukan sekadar mengikuti tren teknologi, tetapi juga memperluas akses masyarakat terhadap pengetahuan dan informasi yang sahih, transparan, dan terverifikasi. Ini penting, karena dalam konteks hukum, informasi yang tidak tervalidasi dapat menimbulkan distorsi opini dan merugikan publik.

Melalui konsep visual radio dan multiplatform, RRI memberi kesempatan kepada generasi muda untuk tidak hanya mendengar, tetapi juga memahami konteks di balik setiap berita, program edukasi, dan budaya yang disiarkan. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan hukum dan kebangsaan yang selalu saya tekankan dalam kuliah dan diskusi publik: memahami simbol dan pesan adalah langkah awal untuk membangun kesadaran kritis dan kecerdasan hukum masyarakat.

Menyongsong puncak Hari Radio ke-80, saya melihat RRI bukan hanya sebagai penyiar suara, tetapi juga sebagai wahana peradaban digital yang mampu menghubungkan sejarah, hukum, dan teknologi. Kita tidak hanya merayakan angka usia; kita merayakan perjalanan transformasi yang mengajarkan kita untuk tetap adaptif, kreatif, dan berpijak pada nilai-nilai kebenaran. Semoga peringatan Hari Radio ke-80 menjadi momentum bagi seluruh insan penyiaran untuk terus berinovasi, menegakkan integritas, dan menjaga amanat bangsa melalui media yang jernih, edukatif, dan inspiratif. RRI tetap ada, bukan hanya sebagai gelombang suara, tetapi sebagai simbol keberlanjutan informasi dan kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan rakyat dan hukum negara.

Related posts