Analisis Semiotika Hukum atas Narasi “Monitoring dan Evaluasi Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2025 Kalimantan Barat

Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur

(Dosen FH Universitas Tanjungpura, Pengamat Hukum Tata Negara, Peneliti Semiotika Pancasila)

Menarik apa yang ditulis oleh Rosadi JamaniKetua Satupena Kalbar, dengan narasi “Menjadi Observer, Menguliti Empat Kepala Dinas” yang diawali dengan menurunkan tensi suhu demo, dengan prolog “Kita turunkan sedikit tensi, pasca wafatnya abang ojol oleh Brimob. Nanti disambung lagi. Kali ini saya nak cerite, pengalaman pertama menjadi observer. Kalian pasti baru dengar. Simak narasinya sambil seruput kopi sedikit susu kental manis, wak!” Undangan itu datang dengan nomor surat: 106/B/KI.KALBAR/8/2024. Isinya, saya dipanggil bukan untuk disidang, bukan pula untuk diminta tanda tangan proyek jalan, melainkan untuk menghadiri acara sakral bernama Monitoring dan Evaluasi Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2025. Singkatnya, Monev. Kamis, 28 Agustus 2025, pukul 09.00 – 12.00 WIB, bertempat di Ruang Audio Visual Kantor Gubernur Kalimantan Barat.

Saya tertegun, sudah lama kaki ini tak menjejak kantor gubernur, tempat di mana pendingin ruangan lebih dingin dari tatapan mantan. Saya hadir atas nama dua gelar sekaligus, dosen UNU Kalbar dan Ketua Satupena Kalbar. Sebuah kombinasi yang biasanya hanya berfungsi untuk diskusi sambil ngopi. Namun kali ini, status itu dipanggil ke ruang serius. Undangan dari seorang komisioner KIP, Marhasak Reinardo Sinaga, yang seminggu sebelumnya sudah merencanakan nasib saya seperti sutradara film drama. Berbekal batik terbaru, saya melangkah. Sebelum pukul sembilan sudah sampai, dan ternyata sudah ada dua kepala dinas duduk lebih dulu, yakni Hendra Bahtiar MT, Kepala Dinas Pemdes Kalbar, dan Ir Florentinus Anum M Si, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan.

Saya disambut Ketua KIP Kalbar, M Darussalam, orang yang baru pertama kali saya jumpai. Saya dipersilakan duduk di sofa kehormatan sejajar dengan dua kadis. Hati saya berbisik, “Wah, setara sama pejabat tinggi.” Juga ikut menyambut saya, anggota KIP yang lain: Padmi Chendramidi, Lufti Faurusal Hasan, Sabinus Matius Melano, dan Marhasak Reinardo Sinaga. Di atas meja, sebuah snack box dan air mineral menunggu saya. Namun yang lebih mengguncang iman adalah secarik kertas kecil bertuliskan “Observer”. Saya tercekat. Observer? Seumur hidup jadi narasumber pernah, panelis pernah, moderator pun sering. Tapi observer? Apa itu? Apakah saya sedang dilatih jadi intel yang tugasnya hanya mengamati, lalu diam seribu bahasa? Atau ini sekadar cara halus KIP untuk bilang, “Jangan banyak tingkah, cukup duduk manis.”Namun dugaan saya salah. Setelah para kadis mempresentasikan bagaimana lembaganya mengelola informasi publik lewat website dan media sosial, tibalah giliran saya diminta menilai.

Saya, yang niatnya cuma datang mendengar sambil ngemil, mendadak berubah jadi juri Indonesian Idol. Saya pun browsing cepat, mencari jejak digital dua dinas itu. Memang ada akun YouTube, Instagram, Facebook, bahkan TikTok. Tapi followernya rendah, pengunjungnya lebih sepi dari warung kopi jam dua pagi. Kontennya lebih banyak potong pita, rapat resmi, dan acara seremonial. Saya bilang terus terang, “Lebih baik ditonjolkan kisah inspiratif. Pemdes bisa tampilkan desa mandiri, Pertanian bisa bikin tutorial menanam sayur atau cara holtikultura. Bukan seremonial melulu.” Setelah dua dinas itu, giliran Dinas DKP Kalbar dan Dinas Pendidikan Kalbar, dipresentasikan oleh Frans Seno dan Rita Hastarita. Polanya sama, dan saya memberikan tanggapan serupa. Empat dinas, empat kepala, empat kali saya diminta bicara. Rasanya epik.

Saya yang datang dengan batik wangi setrika, kini memberikan masukan langsung ke pejabat tinggi. Tentu awalnya segan, tapi kemudian saya sadar, observer bukan sekadar penonton, tapi mata yang berani bersuara. Usai tugas, saya duduk sejenak, merenung. Ternyata pengalaman ini bukan hanya soal memberi kritik, melainkan soal keberanian. Kita sering minder ketika berhadapan dengan pejabat, padahal mereka juga manusia, sama-sama makan sambal tempoyak. Hidup ini memang seperti ruang rapat gubernur, ada panggung, ada penonton, ada giliran bicara. Yang membedakan hanyalah keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Pada hari itu saya belajar, menjadi observer bukan sekadar gelar di kertas kecil, melainkan filosofi hidup, mengamati, menganalisis, lalu berani menyampaikan. Bahkan di hadapan orang besar, suara kecil bisa mengguncang ruang.

Berdasarkan narasi diatas saya coba masuk analisis dengan menggunakan semiotika hukum, memaknai tanda, simbol, dan konteks sosial-hukum di balik peristiwa yang tampak sederhana.

Analisis Semiotika Hukum atas Narasi “Observer, Menguliti Empat Kepala Dinas”
1. Tanda (Sign) – Secarik Kertas “Observer”, Dalam semiotika hukum, secarik kertas kecil bertuliskan “observer” bukan hanya simbol administratif, melainkan penanda posisi kekuasaan. Kata observer mewakili peran hukum yang unik: bukan sebagai subjek aktif yang memutuskan (seperti hakim), bukan juga subjek yang diadili, melainkan saksi kritis yang menilai keseimbangan antara kewajiban negara (dinas) dengan hak rakyat (akses informasi publik). Ini mengandung makna partisipasi publik dalam kontrol kekuasaan.

2. Objek (Object) – Monitoring & Evaluasi Keterbukaan Informasi Publik (Monev KIP), Monev adalah “panggung hukum” di mana pejabat publik diuji sejauh mana menjalankan amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.Hadirnya seorang observer di forum itu adalah bentuk demokratisasi ruang hukum: rakyat (melalui akademisi, civil society, atau Satupena) diberi kursi untuk ikut menilai.Jadi, observer adalah representasi dari prinsip checks and balances di luar lembaga formal.

3. Interpretan – Tafsir Kritis atas Media & Transparansi, komunikasi publik para dinas masih dominan seremonial (gunting pita, rapat, laporan), yang secara semiotik adalah tanda kekuasaan vertikal.Kritik “lebih baik menampilkan kisah inspiratif” merupakan dekonstruksi semiotik: dari simbol kekuasaan menuju simbol pemberdayaan.Tafsir hukum yang lahir di sini: informasi publik tidak boleh berhenti sebagai formalitas, tetapi harus menjadi narasi yang memberdayakan rakyat.

4. Relasi Kuasa – “Batik Wangi Setrika di Kursi Pejabat”, simbol batik dan kursi sofa sejajar dengan kadis menandakan adanya temporary equality before the law.Dalam semiotika hukum, ini menegaskan prinsip equality before the law: dosen, penulis, maupun pejabat sama-sama punya hak bicara.Perasaan “observer bukan sekadar penonton” adalah kesadaran hukum bahwa suara rakyat, sekecil apa pun, bisa memengaruhi tata kelola negara.

5. Filosofi Hukum – Observer sebagai Cermin Publik, secara filosofis, observer adalah posisi reflektif: mengamati, menganalisis, dan berani menyampaikan.Inilah yang saya sebut sebagai praktik Semiotika Pancasila: menafsir tanda bukan sekadar teks, tapi menghubungkannya dengan nilai-nilai demokrasi, keterbukaan, dan keberanian menyuarakan kebenaran.Observer di ruang monev menjadi ikon partisipasi demokratis: rakyat tidak lagi objek, tapi subjek hukum.

Kesimpulan Semiotika Hukum, bahwa secarik kertas “observer” adalah simbol transisi peran rakyat: dari penonton pasif menjadi partisipan kritis. Dalam semiotika hukum ala Turiman, peristiwa ini bukan sekadar agenda birokrasi, melainkan miniatur negara hukum Pancasila, di mana pejabat (signifier kekuasaan) diuji oleh rakyat (signifier partisipasi).Makna terdalamnya: Observer bukan hanya label, melainkan “recht-idee” (cita hukum) keterbukaan: suara rakyat sebagai tafsir hukum yang hidup, yang berani hadir di ruang kuasa. Artinya fakta administrasi, surat Undangan bernomor 106/B/KI.KALBAR/8/2024 yang menghadirkan sebuah pengamatan dan penilaian dalam memaparkan terhadap monitoring dan evaluasi Keterbukaan Informasi Publik (Monev KIP) Tahun 2025 di Kantor Gubernur Kalbar, bukan sekadar agenda birokrasi. Di balik secarik kertas kecil bertuliskan observer,dibalik itu tersembunyi tanda-tanda (sign) yang dapat dianalisis melalui pendekatan semiotika hukum. Observer, dalam perspektif hukum, adalah representasi rakyat yang diberi mandat moral untuk mengamati, menilai, sekaligus menyuarakan pandangan kritis. Ia adalah simbol partisipasi publik dalam proses hukum yang lebih luas, sebagaimana amanat Pasal 28F UUD 1945 tentang hak memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Monev KIP berfungsi sebagai panggung pengujian, sejauh mana badan publik melaksanakan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran observer menegaskan prinsip checks and balances dari luar lembaga formal, sehingga ruang hukum menjadi lebih demokratis.

Interpretan: Kritik terhadap Pola Komunikasi Dinas, Presentasi empat kepala dinas menunjukkan dominasi konten seremonial: rapat, peresmian, potong pita. Secara semiotik, itu adalah simbol kekuasaan vertikal.Interpretasi kritis yang saya sampaikan adalah perlunya transisi menuju narasi pemberdayaan: Pemdes menampilkan desa mandiri sebagai inspirasi, Pertanian menyajikan tutorial holtikultura.Pendidikan menghadirkan kisah guru berprestasi. DKP menonjolkan nelayan inovatif,Dengan demikian, informasi publik tidak berhenti sebagai laporan administratif, tetapi menjadi narasi hidup rakyat.

Filosofi Hukum dibalik fakta itu , bahwa Observer sebagai Cermin Publik, Menjadi observer bukan hanya status administratif, melainkan filosofi hidup: mengamati, menganalisis, dan berani menyampaikan kebenaran.Dalam kerangka semiotika Pancasila, peran observer adalah representasi sila ke-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Suara kecil rakyat, ketika disuarakan dengan jujur, mampu mengguncang ruang kekuasaan.Dalam semiotika hukum, pengalaman menjadi observer pada Monev KIP Kalbar adalah representasi cita hukum (recht-idee) keterbukaan informasi. Secarik kertas bertuliskan “observer” bukanlah formalitas, tetapi simbol pergeseran relasi kuasa: rakyat tidak lagi objek hukum, melainkan subjek hukum yang berani menafsir, menilai, dan menyuarakan kebenaran. Dengan kata lain, bahwa di balik secarik kertas kecil bertuliskan observer, tersembunyi tanda-tanda (sign) yang dapat dianalisis melalui pendekatan semiotika hukum.Observer, dalam perspektif hukum, adalah representasi rakyat yang diberi mandat moral untuk mengamati, menilai, sekaligus menyuarakan pandangan kritis. Ia adalah simbol partisipasi publik dalam proses hukum yang lebih luas, sebagaimana amanat Pasal 28F UUD 1945 tentang hak memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

Adakah Landasan Konstitusionalnya, bahwa Hak atas Informasi, Pasal 28F UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”Pasal ini adalah cita hukum (recht-idee) yang menegaskan keterbukaan informasi publik sebagai hak dasar warga negara.

Monitoring Keterbukaan Informasi Publik, Monev KIP berfungsi sebagai panggung pengujian, sejauh mana badan publik melaksanakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), Pasal 3 UU KIP menegaskan tujuan utama: “Undang-Undang ini bertujuan:

a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik;

b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;,

c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik;

d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; dan

e. mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak.”

Kritik terhadap Pola Komunikasi Dinas, Presentasi empat kepala dinas menunjukkan dominasi konten seremonial: rapat, peresmian, potong pita. Secara semiotik, itu adalah simbol kekuasaan vertikal. Interpretasi kritis yang saya sampaikan adalah perlunya transisi menuju narasi pemberdayaan: Pemdes menampilkan desa mandiri sebagai inspirasi. Pertanian menyajikan tutorial holtikultura. Pendidikan menghadirkan kisah guru berprestasi.

DKP menonjolkan nelayan inovatif.Dengan demikian, informasi publik tidak berhenti sebagai laporan administratif, tetapi menjadi narasi hidup rakyat, yaitu Relasi Kuasa dan Equality Before the Law, Duduk sejajar dengan kepala dinas pada sofa kehormatan adalah tanda simbolis bahwa dalam negara hukum Pancasila, setiap orang setara di hadapan hukum (equality before the law). Observer bukan bawahan pejabat, tetapi mitra kritis yang punya ruang bicara, ini semua terbaca sebagai Filosofi Hukum, setiap warga negara ketika menyampaikan pendapat dan penilaian sebenarnya adalah sebagai Cerminam suara Publik, artinya yang menjadi observer bukan hanya status administratif, melainkan filosofi hidup setiap warga negara untuk mengamati, menganalisis, dan berani menyampaikan kebenaran. Dalam kerangka semiotika Pancasila, peran observer adalah representasi sila ke-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.

Suara kecil rakyat, ketika disuarakan dengan jujur, mampu mengguncang ruang kekuasaan, Dalam semiotika hukum, pengalaman menjadi observer pada Monev KIP Kalbar adalah representasi cita hukum (recht-idee) keterbukaan informasi. Secarik kertas bertuliskan “observer” bukanlah formalitas, tetapi simbol pergeseran relasi kuasa: rakyat tidak lagi objek hukum, melainkan subjek hukum yang berani menafsir, menilai, dan menyuarakan kebenaran.Observer adalah cermin publik, tafsir hidup dari demokrasi Pancasila, sekaligus realisasi Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 3 UU KIP 2008.

Kewajiban Badan Publik, sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU KIP: “Badan Publik wajib menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.” Berdasarkan norma hukum ini secara semiotika hukum, bahwa presentasi empat kepala dinas (Pemdes, Pertanian, DKP, Pendidikan) adalah tanda sejauh mana mereka melaksanakan kewajiban konstitusional untuk membuka informasi. Namun, dominasi konten seremonial (gunting pita, rapat) memperlihatkan tanda bahwa keterbukaan masih sebatas formalitas, belum menjadi narasi pemberdayaan publik.

Mengapa demikian karena ada Informasi yang Wajib Diumumkan Secara Berkala, Pasal 9 ayat (1) UU KIP: “Badan Publik wajib mengumumkan Informasi Publik secara berkala.” Ayat (2) menjelaskan bahwa informasi yang wajib diumumkan sekurang-kurangnya meliputi: informasi tentang profil badan publik,ringkasan program/ kegiatan,laporan keuangan,informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, Jadi Ketika dinas lebih banyak memajang “seremonial”, sesungguhnya mereka belum memenuhi makna semiotik dari Pasal 9: keterbukaan haruslah menyangkut substansi pelayanan publik, bukan sekadar simbol kekuasaan.

Pada tataran ini rakyat berhak menilai apakah kewajiban Pasal 7 dan Pasal 9 UU KIP benar dijalankan. Dengan kata lain, kehadiran observer adalah “perpanjangan mata rakyat” dalam menagih transparansi, atau adanya relasi kuasa dan Equality Before the Law, itulah makna hukum, bahwa duduk sejajar dengan kepala dinas pada sofa kehormatan adalah tanda simbolis bahwa dalam negara hukum Pancasila, setiap orang setara di hadapan hukum (equality before the law). Observer bukan bawahan pejabat, melainkan mitra kritis yang ikut menegakkan prinsip keterbukaan dalam kerangka semiotika Pancasila, peran observer mencerminkan sila ke-4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.Suara kecil rakyat, ketika disuarakan dengan jujur, mampu mengguncang ruang kekuasaan.

Secara analisis dalam semiotika hukum, pengalaman menjadi observer pada Monev KIP Kalbar adalah representasi nyata dari cita hukum keterbukaan informasi publik dan hak itu terpaparkan dengan jelas, yaitu, Pasal 28F UUD 1945 menegaskan hak konstitusional warga atas informasi.Pasal 3 UU KIP memberi dasar tujuan transparansi, sedangkan pasal 7 memerintahkan badan publik membuka informasi serta Pasal 9 mewajibkan pengumuman berkala informasi substansial. Semua itu butuh partisipasi masyarakat yang terwakili itu pengamat dan akademisi salah satunya, bukan sekadar label, melainkan simbol pergeseran relasi kuasa: rakyat menjadi subjek hukum yang berani menafsir, menilai, dan menyuarakan kebenaran. Dalam semiotika hukum itu yang dinamakan observer sesungguhnya adalah tafsir hidup dari Pasal 28F UUD 1945, realisasi Pasal 7 dan Pasal 9 UU KIP, serta cermin demokrasi Pancasila dalam praktik sehari-hari.

Related posts