Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Memperhatikan terhadap pernyataan resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa tidak segan menaikkan status hukum Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan—saat itu mantan Bupati Mempawah—menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi Dinas PUPR Kabupaten Mempawah senilai Rp40 miliar yang beredar di media masa, adalah menegaskan bahwa penegakan hukum berbasis due process of law tetap dijunjung. KPK menekankan bahwa penetapan tersangka hanya akan dilakukan apabila terdapat bukti permulaan yang cukup, sesuai dengan asas legalitas dan asas praduga tak bersalah.
Agar analisis ini sistimatis, saya bikin alur
- Opini hukum → Narasi kritis dan tajam,
- Lima analisis hukum (Kategorisasi, Klarifikasi, Verifikasi, Validasi, Falsifikasi),
- Algoritma hukum → pemetaan alur logika hukum.
- Analisis pasal peraturan perundang-undangan yang relevan,
- Analisis substansi hukum → bagaimana pasal diterapkan.
Prosedur Penetapan Tersangka dalam Kasus Korupsi
Kasus dugaan korupsi eks Kepala Daerah Kabupaten, secara hukum dan obyektif adalah dengan menegaskan pentingnya prinsip kepastian hukum, due process of law, dan asas praduga tak bersalah. Penetapan seseorang sebagai tersangka bukan sekadar langkah administratif, melainkan tindakan hukum serius yang menentukan nasib, harkat, dan martabat seseorang. Karena itu, prosedurnya harus mengikuti algoritma fakta hukum yang tervalidasi, yaitu mulai dari penyelidikan → penyidikan → alat bukti → gelar perkara → penetapan tersangka.
1. Pemetaan Pasal & Algoritma Hukum, KUHAP, Pasal 1 angka 14 KUHAP → Definisi tersangka: “Seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Pasal 17 KUHAP → Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, Pasal 21 ayat (1) KUHAP → Penahanan hanya dilakukan bila ada kekhawatiran tersangka melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 2 ayat (1) → “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain … yang merugikan keuangan negara, dipidana …”Pasal 3 → Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan, yang merugikan keuangan negara. Pasal 12B → Gratifikasi yang dianggap suap jika berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban/tugas. Jika dengan hukum materil Hukum Administrasi Negara UU Nomor.30 Tahun 2002 jo. UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, Pasal 6 huruf c → KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Pasal 44 ayat (4) → Penetapan tersangka dilakukan setelah gelar perkara dan ada minimal dua alat bukti yang sah.
2. Algoritma Hukum (Tahapan Penetapan Tersangka), Input (Data Fakta Awal): Laporan dugaan korupsi / hasil audit BPK / informasi penyidik. Kemudian Proses (Logika Hukum): 1. Identifikasi norma pada Pasal 2, 3, 12B UU Tipikor. 2. Kategorisasi, Apakah perbuatan masuk tindak pidana korupsi atau sekadar maladministrasi 3. Klarifikasi, Memeriksa apakah ada mens rea (niat jahat) & actus reus (perbuatan nyata).4. Verifikasi alat bukti, Minimal 2 alat bukti (Pasal 184 KUHAP: saksi, ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa).5. Validasi melalui gelar perkara → memastikan objektivitas. 6. Output → Status tersangka bila syarat terpenuhi.
3. Lima Analisis Hukum,
- Analisis Kategorisasi Hukum, Perbuatan baru dikategorikan tindakan pidana korupsi dalam tahap sebagai dugaan tindak pidana korupsi (gratifikasi, penyalahgunaan kewenangan). Dasar hukumnya: Pasal 2, 3, dan 12B UU Tipikor.
- Analisis Klarifikasi Hukum, Klarifikasi apakah penerimaan uang mantan kepala daerah, karena kewenangan jabatan (suap/gratifikasi) atau sekadar bantuan pribadi, Jika ada hubungan dengan jabatan masuk ranah Tipikor.
- Analisis Verifikasi Hukum, Harus ada minimal dua alat bukti sah (Pasal 184 KUHAP), Misalnya: keterangan saksi pejabat Kementan, dokumen aliran dana, rekaman komunikasi.
- Analisis Validasi Hukum, Gelar perkara wajib dilakukan agar tidak ada kriminalisasi. Validasi menjawab: apakah bukti sudah cukup untuk menjerat sebagai tersangka?
- Analisis Falsifikasi Hukum, Jika bukti tidak konsisten atau hanya asumsi politik, maka status tersangka harus dianulir. Prinsip ini mencegah abuse of power oleh penyidik.
- Analisis Substansi Hukum, Substansi KUHAP → menjamin prosedur penetapan tersangka berjalan sesuai hukum acara pidana (due process of law). Substansi UU Tipikor → memberi batasan jelas tentang “gratifikasi” dan “penyalahgunaan wewenang”.
Substansi UU KPK → mempertegas kewenangan lembaga independen dalam memastikan integritas penyidikan. Dalam kasus di Mempawah, jika benar ada pungutan dana dari pejabat Kementan untuk kepentingan pribadi/keluarga, maka substansinya masuk Pasal 12B (gratifikasi) atau Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang).
Penetapan tersangka dalam kasus di Mempawah yang melibatkan Gubernur Kalimantan Barat menjadi saksi merupakan ujian integritas hukum acara pidana Indonesia. Jika prosedur dilalui sesuai algoritma hukum (dua alat bukti sah, gelar perkara, verifikasi independen), maka status tersangka sah menurut hukum. Namun, bila ada penyimpangan (kriminalisasi, bukti tidak valid, atau intervensi politik), maka hal itu melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Indonesia sebagai negara hukum) dan berpotensi digugat melalui praperadilan (Pasal 77 KUHAP).Dengan demikian, keabsahan penetapan tersangka sangat ditentukan oleh kualitas bukti dan ketaatan pada prosedur hukum, bukan oleh opini publik atau tekanan politik.
Adapun prosedur hukumnya: Analisisnyaa Algoritma Hukum Penetapan Tersangka di KPK.
1. Penyelidikan → pengumpulan data awal, keterangan, dokumen proyek jalan di Mempawah.Dasar: Pasal 1 angka 5 KUHAP.
2. Penyidikan, pemeriksaan saksi (termasuk Ria Norsan), penggeledahan, penyitaan dokumen, audit kerugian negara. Dasar: Pasal 1 angka 2 KUHAP; Pasal 44 UU KPK.
3. Konstruksi Alat Bukti → minimal 2 bukti sah (Pasal 184 KUHAP): keterangan saksi, surat/dokumen proyek,keterangan ahli petunjuk, keterangan tersangka.
4. Gelar Perkara Internal KPK menilai kecukupan bukti, menentukan status hukum.
5. Penetapan Tersangka, baru dapat diumumkan jika bukti objektif & cukup. Lebih lanjut perlu memperhatikan dasar: Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 → penetapan tersangka harus didukung bukti permulaan yang cukup. Hak Hukum Tersangka → dijamin Pasal 50–68 KUHAP, termasuk hak untuk praperadilan (Pasal 77 KUHAP).
Mengacu norma hukum dalam Pasal Peraturan Perundang-undangan, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor (UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001)“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup…” Pasal 3 UU Tipikor: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan… dipidana…”.Pasal 12B UU Tipikor (gratifikasi terkait jabatan), Pasal 184 KUHAP (alat bukti sah: saksi, ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa), Pasal 77 KUHAP (praperadilan sebagai kontrol legalitas penetapan tersangka).Pasal 46 ayat (1) UU KPK No. 19/2019 “KPK tidak memerlukan izin pihak lain dalam melakukan penahanan terhadap tersangka tindak pidana korupsi.”
Lebih lanjut Lima Analisis Hukum,
1. Analisis Normatif: Penetapan tersangka hanya sah bila ada bukti permulaan cukup. KPK wajib taat pada KUHAP & UU Tipikor.
2. Analisis Subjektif-Objektif, Peran Ria Norsan perlu dibedakan antara mengetahui atau menyetujui korupsi. Unsur subjektif → niat memperkaya diri; unsur objektif → kerugian negara Rp40 miliar.
3. Analisis Prosedural, KPK sudah lakukan penggeledahan (16 lokasi), pemeriksaan saksi, penyitaan dokumen → sesuai prosedur.
4. Analisis Konstitusional, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin kepastian hukum → jangan ada kriminalisasi; tapi juga kewajiban negara (Pasal 27 ayat (1)) menegakkan hukum secara adil.
5. Analisis Yurisprudensi Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 menegaskan: “bukti permulaan cukup” menjadi syarat absolut penetapan tersangka. Jika dilanggar, praperadilan bisa membatalkan.
7. Analisis Substansi Hukum, Kita ketahui, bersama KPK berada pada posisi lex specialis (UU KPK + UU Tipikor).Substansi dugaan korupsi proyek jalan di PUPR Mempawah menyentuh Pasal 2 & 3 UU Tipikor. Indikasi kuat: dugaan “pengetahuan dan keterlibatan” Ria Norsan saat menjabat Bupati Mempawah → harus diuji apakah hanya sekadar mengetahui atau ikut menyetujui dan memperoleh keuntungan.
Dengan demikian, bahwa KPK wajib hati-hati namun tegas. Penetapan tersangka mantan kepala daerah bukan sekadar langkah hukum, melainkan pesan moral: jabatan publik bukanlah tameng untuk menghindar dari jerat hukum. Namun, prosedur hukum tidak boleh dilanggar—karena jika bukti permulaan tidak sahih, penetapan bisa gugur melalui praperadilan. Dengan demikian, langkah KPK harus berjalan di atas trilogi hukum: 1. Kepastian hukum (ada bukti sahih), 2. Keadilan hukum (tidak diskriminatif), 3. Kemanfaatan hukum (efek jera & menjaga integritas penyelenggara negara).
Kesimpulan dari paparan diatas terhadap Kasus dugaan korupsi PUPR Mempawah dengan kerugian Rp40 miliar menunjukkan bagaimana perkembangan fakta algoritma hukum penetapan tersangka bekerja di KPK. Jika prosedur ditempuh sesuai KUHAP, UU Tipikor, dan UU KPK, maka penetapan mantan kepala daerah sebagai tersangka sah secara hukum dan memiliki legitimasi moral serta yuridis yang kuat. Artinya bahwa proses penegakan hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu menjadi sorotan publik. Terlebih ketika menyangkut figur politik atau pejabat negara yang strategis, seperti kasus terbaru pergantian status saksi Ria Norsan oleh seorang mantan pejabat negara yang kini dimintai keterangan. Pertanyaan yang muncul kemudian: bagaimana prosedur hukum KPK dalam menentukan status tersangka, dan bagaimana hal tersebut dikaitkan dengan prinsip negara hukum Pancasila? Landasan Normatif, Prosedur penetapan tersangka diatur oleh beberapa instrumen hukum: 1. Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” 2. Pasal 184 KUHAP: Alat bukti yang sah meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014: Menetapkan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah. 4. Pasal 44 UU No. 19 Tahun 2019 (Perubahan Kedua UU KPK): Penyidik KPK berwenang menetapkan tersangka setelah melakukan pemeriksaan dan menemukan bukti permulaan yang cukup. 5. Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (jo. perubahannya): KPK melaksanakan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, dan proporsionalitas.
Dengan demikian, status saksi dapat berubah menjadi tersangka hanya bila ditemukan bukti permulaan yang cukup dan memenuhi standar minimal dua alat bukti. Prosedur Hukum di KPK Saat Ini: 1. Tahap Penyelidikan: Mengumpulkan bukti permulaan. 2. Tahap Penyidikan: Menetapkan status tersangka setelah memperoleh minimal dua alat bukti. 3. Tahap Penuntutan: Berkas perkara dilimpahkan ke penuntut umum. 4. Tahap Persidangan: Hakim memutus perkara berdasarkan bukti di persidangan. Artinya, bahwa Perubahan status saksi menjadi tersangka bukanlah keputusan politis, melainkan produk hukum yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis. artinya dari paparan diatas, bahwa analisis Substansi Hukum, Peralihan status saksi (misalnya mantan pejabat negara yang kini diperiksa) menuju tersangka memiliki implikasi besar. Secara substansial, langkah ini hanya sah apabila: Ada bukti permulaan yang cukup.Prosesnya transparan dan akuntabel.Tidak dipengaruhi oleh tekanan politik maupun kepentingan tertentu.
Lima Analisis Hukum, 1. Analisis Kategorisasi Hukum Penetapan tersangka masuk kategori hukum acara pidana, khususnya dalam tahap penyidikan. KPK wajib tunduk pada KUHAP dan putusan MK. 2. Analisis Klarifikasi Hukum, Perbedaan status hukum (saksi, tersangka, terdakwa) harus jelas. Saksi adalah orang yang memberikan keterangan, sedangkan tersangka adalah yang telah diduga kuat sebagai pelaku dengan bukti minimal dua alat bukti. 3. Analisis Verifikasi Hukum, Bukti yang dimiliki KPK harus diverifikasi kebenarannya: keterangan saksi lain, dokumen, petunjuk elektronik, aliran dana, dan keterangan ahli. Tanpa verifikasi yang ketat, penetapan tersangka dapat cacat hukum. 4. Analisis Validasi Hukum, Validasi dilakukan melalui pengujian yuridis (kesesuaian dengan hukum positif) dan pengujian konstitusional (asas due process of law). Jika prosedur dilanggar, maka sah untuk diajukan praperadilan. 5. Analisis Falsifikasi Hukum, artinya menjadi penting untuk menguji kemungkinan kesalahan prosedur atau penyalahgunaan wewenang. Jika bukti tidak kuat, maka status tersangka bisa dibatalkan oleh hakim praperadilan.
Lebih tajam lagi , bahwa proses hukum terhadap kasus pergantian status saksi menjadi tersangka di KPK menegaskan kembali bahwa negara hukum harus berpegang teguh pada asas legalitas, due process of law, dan equality before the law. Dalam perspektif Negara hukum Demokrasi Pancasila, hukum tidak boleh menjadi alat politik, melainkan instrumen keadilan. Jika prosedur dijalankan dengan benar, maka penegakan hukum akan melahirkan kepercayaan publik. Tetapi jika prosedur dilanggar, justru akan melahirkan krisis kepercayaan yang berpotensi menggoyang sendi-sendi negara hukum.
Menurut Saya Sikap Kooperatif Ria Norsan dalam Proses Hukum KPK di Mempawah Patut Diapresiasi
Proses hukum yang tengah berlangsung di Kabupaten Mempawah menarik perhatian publik, terlebih karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil sejumlah pihak untuk dimintai keterangan. Salah satu nama yang ikut hadir memenuhi panggilan adalah Ria Norsan, Gubernur Kalimantan Barat sekaligus mantan Bupati Mempawah dua periode.
Hal yang patut dicatat: Ria Norsan hadir tanpa absen, tidak mangkir, dan bersikap kooperatif sebagai saksi. Ia menempatkan dirinya sebagai bagian dari proses hukum yang harus berjalan transparan. Dalam konteks hukum acara pidana, kesaksian adalah alat bukti yang sah (Pasal 184 KUHAP). Posisi saksi berbeda secara prinsip dengan tersangka; saksi adalah pihak yang dimintai keterangan untuk menerangkan suatu peristiwa, bukan orang yang secara otomatis diduga bersalah.
Di sinilah pentingnya meluruskan opini publik. Munculnya spekulasi liar yang menyamakan status saksi dengan tersangka merupakan bentuk kekeliruan logika hukum. Teori presumption of innocence (asas praduga tak bersalah) menegaskan bahwa seseorang tidak boleh diperlakukan sebagai pelaku sebelum adanya bukti kuat dan penetapan resmi. Kehadiran Ria Norsan sebagai saksi justru menunjukkan sikap ksatria: terbuka, taat hukum, dan mendukung tegaknya keadilan.
Keterbukaan semacam ini adalah modal sosial penting. Dalam teori legitimasi politik, pemimpin yang transparan dalam menghadapi proses hukum cenderung mempertahankan kepercayaan publik. Sebaliknya, bila isu diseret-seret untuk kepentingan politik tertentu, yang dirugikan bukan hanya pribadi Ria Norsan tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dan demokrasi daerah.
Oleh karena itu, publik perlu tetap tenang dan rasional. Jangan biarkan isu ini dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membangun narasi seolah-olah ada agenda tersembunyi. KPK memiliki mekanisme hukum yang ketat, dan Ria Norsan sudah menunjukkan dukungan penuh pada proses tersebut.
Sikap kooperatif ini pantas diapresiasi. Ia memberi contoh bahwa jabatan bukanlah alasan untuk menghindari pemeriksaan, dan bahwa kesediaan hadir sebagai saksi adalah bentuk tanggung jawab moral kepada masyarakat. Yang diperlukan kini adalah menjaga agar opini publik tidak terseret arus framing keliru yang justru melemahkan kepercayaan terhadap pemimpin daerah maupun lembaga hukum.
Masyarakat Kalimantan Barat juga perlu melihat konsistensi kepemimpinan Ria Norsan dalam menjalankan visi-misi pemerintahannya. Salah satu poin utama dalam visi-misi tersebut adalah menciptakan keadilan bagi masyarakat Kalbar. Meski dihadapkan pada kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang stagnan, ia tetap aktif melakukan “jemput bola” ke kementerian agar Kalbar mendapat perhatian dan porsi anggaran lebih besar.
Tidak hanya itu, kerja sama dengan pihak ketiga juga terus diperluas. Bandara Supadio, misalnya, sudah berstatus internasional, membuka peluang ekonomi dan mobilitas lebih luas bagi masyarakat. Sejumlah janji politik yang pernah disampaikan pun mulai ditunaikan secara bertahap. Perlu dipahami pula bahwa dalam satu tahun pertama kepemimpinan, program yang dijalankan masih melanjutkan agenda gubernur sebelumnya. Meski demikian, Ria Norsan telah berupaya memaksimalkan agar program-program baru yang dirancang benar-benar menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
Saya berharap kita sebagai masyarakat Kalimantan Barat jangan mudah terprovokasi. Kita harus bisa menyaring pemberitaan yang bisa saja sumbernya kurang terpercaya, serta tidak mudah menyimpulkan berita yang justru dapat merugikan kita sebagai masyarakat Kalimantan Barat. Biarkan KPK bekerja sesuai tupoksinya, karena Pak Ria Norsan sendiri percaya kepada KPK dan sudah mengikuti serta hadir dalam proses sebagai saksi.
Kini, yang dibutuhkan adalah dukungan publik agar visi-misi pembangunan yang sudah disusun berjalan sesuai tujuan: menghadirkan keadilan, memperkuat infrastruktur, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kalimantan Barat.