Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Menarik peristiwa hukum tentang Setya Novanto yang akhirnya Bebas setelah Dapat Discount Besar-besaran, yang ditulis oleh Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalbar
Siapa sih tak kenal Setya Novanto? Mantan Ketum Golkar, Ketua DPR RI. Tapi, nasibnya tragis, dijebloskan ke Sukamiskin karena korupsi 2,3 triliun. Sekarang, dengan berkah HUT RI, sang Papa Minta Saham, bebas, bisa menghirup udara segar. Mari kita ungkap kehebatan pria santun ini sambil seruput kopi tanpa gula, wak! Tokoh utama kita kali ini, siapa lagi kalau bukan Setya Novanto. Lahir di Bandung, 12 November 1954. Beliau mantan Ketua DPR RI, mantan Ketum Golkar, pernah duduk di kursi paling sakral se-Indonesia setelah kursi Presiden. Tapi ya, sialnya, dari kursi empuk DPR beliau juga sukses pindah ke kursi pesakitan pengadilan. Konsistensi level dewa
Kasusnya? Jangan ditanya. Yang paling legendaris adalah korupsi proyek KTP elektronik. Nilai kerugian negara? Rp2,3 triliun! Triliun, wak, bukan receh. Duit segitu kalau dibelikan gorengan bisa bikin seluruh rakyat Indonesia kekenyangan sampai kiamat. Vonis awalnya? 15 tahun penjara. Ditambah denda Rp500 juta dan kewajiban membayar uang pengganti Rp58,6 miliar. Tapi karena kita hidup di negeri penuh cinta, Mahkamah Agung lewat Peninjauan Kembali memotong hukumannya jadi 12 tahun 6 bulan. Diskon, wak! Lebih gede dari Harbolnas 12.12.
Sekarang pertanyaannya, setelah berapa lama dia dipenjara? Nah, setelah menjalani 2/3 masa pidana, plus sudah bayar uang pengganti Rp43.738.291.585 dan sisanya Rp5.313.998.118 diganti dengan hukuman subsider 2 bulan 15 hari, beliau resmi memenuhi syarat. Maka pada Sabtu, 16 Agustus 2025, sehari sebelum ulang tahun RI, beliau keluar dari Lapas Sukamiskin dengan status bebas bersyarat. Kalau ada yang bilang “Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus”, Setnov sudah merdeka sehari sebelumnya. Patriot sejati, bung!
Kabar dari Kanwil Kemenkumham Jawa Barat jelas, SK Men Imipas Nomor PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025 sudah turun pada 15 Agustus 2025. Beliau bukan lagi napi, tapi klien Balai Pemasyarakatan Bandung sampai 1 April 2029. Wajib lapor, wajib diawasi, pokoknya semacam LDR panjang dengan petugas Bapas. Ini bukan April Mop, ya aa teteh. Beneran, sampai 2029. Nah, bagian paling lucu itu soal “episode tiang listrik”. Ingat, ketika dulu mau ditangkap KPK, tiba-tiba Fortuner putihnya menabrak tiang listrik. Netizen bilang, “Wah, ini bukan kecelakaan, ini teater!” Kalau Shakespeare masih hidup, dia pasti bilang, “Bro, gue nyerah deh. Drama lo lebih gila dari Hamlet.” Sampai sekarang, tiang listrik itu jadi ikon. Bahkan lebih terkenal dari patung Pancoran. Bayangkan, wak! Ada wisata sejarah, Monas, Borobudur, dan… tiang listrik Setnov.
Tapi jangan lupa juga episode Papa Minta Saham. Tahun 2015, ada rekaman percakapan, beliau diduga ngotot minta saham Freeport dengan mengatasnamakan Presiden Jokowi. Kalimatnya viral, “Papa minta saham.” Itu bukan sekadar kalimat, itu warisan budaya takbenda, layak masuk Unesco! Dari situlah julukan lahir, “Papa Setnov”. Papa minta saham, papa minta kursi, papa minta kebebasan. Kalau dipikir-pikir, beliau ini kayak Doraemon. Selalu punya permintaan. Bedanya, kantong ajaibnya bukan di perut, tapi di lobi-lobi politik.
Jangan salah, kang, bebas bersyarat itu bukan bebas mutlak. Ada syarat, jangan korupsi lagi, jangan kabur lagi, jangan pura-pura sakit lagi. Tapi… yah, kita tahu lah, hukum di negeri ini fleksibel. Bisa lebih lentur dari karet gelang. Rakyat kecil maling ayam? 2 tahun penjara. Rakyat kecil nyolong sendal? 1 tahun penjara. Elit maling Rp2,3 triliun? Diskon, bebas bersyarat, senyum di depan kamera. Sungguh, inilah filsafat keadilan rasa Nusantara.
Filsafatnya jelas, korupsi itu bukan cuma mencuri uang, tapi mencuri masa depan. Kalau anak sekolah masih belajar di bangunan reyot, kalau rumah sakit masih kekurangan obat, kalau rakyat masih ngantre minyak goreng, ingatlah, duitnya sudah lenyap di proyek-proyek haram. Orang seperti Setya Novanto adalah simbol. Simbol betapa hukum di negeri ini bisa seperti singa, bisa juga seperti agar-agar.
Kalau kelak cucu-cucu kita bertanya, “Kakek, siapa itu Setya Novanto?” Jawablah dengan jujur, “Nak, dia itu legenda. Legenda yang mengajarkan kita, di negeri ini, tiang listrik pun bisa masuk sejarah korupsi.”
Analisis Hukum dari Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Analisis Hukum terhadap bebas bersyaratnya Setya Novanto, koruptor proyek KTP Elektronik senilai Rp2,3 triliun, menimbulkan kontroversi hukum. Dari vonis awal 15 tahun penjara (Putusan PN Tipikor Jakarta Pusat No. 130/Pid.Sus/ TPK/2017/PN.JKT.PST), hukumannya dipotong menjadi 12 tahun 6 bulan melalui PK Mahkamah Agung, lalu pada 16 Agustus 2025 ia keluar dengan status bebas bersyarat berdasarkan SK Menkumham Nomor PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025.
Apakah pembebasan ini sesuai dengan prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan? Mari kita analisis melalui lima pendekatan hukum.
1. Analisis Kategorisasi Hukum
Pasal 10A KUHP → pidana tambahan termasuk pembayaran uang pengganti. Pasal 34 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan → narapidana berhak mendapat pembebasan bersyarat setelah menjalani 2/3 masa pidana. Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 → korupsi merugikan keuangan negara dapat dipidana penjara maksimal seumur hidup.
Analisis: Secara kategoris, Setnov berada di dua rezim hukum: pemasyarakatan (yang memberi hak bebas bersyarat) dan tipikor (yang menuntut pemberatan hukuman). Di sinilah terjadi pertentangan norma: apakah koruptor diperlakukan sama dengan napi biasa?
2. Analisis Klarifikasi Hukum
Pasal 14C KUHP → pembebasan bersyarat dapat diberikan jika syarat terpenuhi. Pasal 34 ayat (2) UU Pemasyarakatan 2022 → syarat bebas bersyarat: menjalani 2/3 masa pidana, berkelakuan baik, dan membayar kewajiban finansial.
Analisis: Formilnya, Novanto sah mendapat bebas bersyarat. Tetapi materiilnya, sebagai pelaku extraordinary crime, korupsi Rp2,3 triliun tidak bisa diperlakukan sama dengan kejahatan biasa. Di sinilah letak dualisme hukum: sah secara prosedural, tetapi mencederai rasa keadilan masyarakat (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang persamaan di hadapan hukum)
3. Analisis Verifikasi Hukum
Fakta hukum: SK Menkumham sah, Novanto membayar Rp43,7 miliar, sisanya Rp5,3 miliar diganti subsider (Pasal 18 UU Tipikor). Status: klien Balai Pemasyarakatan sampai 1 April 2029.
Analisis: Verifikasi membuktikan prosedur dipenuhi. Namun prosedur administratif bukan berarti keadilan substantif tercapai. Kepatuhan pada formalitas hukum sering menutupi ketidakadilan moral.
4. Analisis Validasi Hukum
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 → “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.” Sila ke-5 Pancasila → “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Analisis: Secara hukum positif, bebas bersyarat valid. Tetapi secara keadilan substantif, perlakuan istimewa bagi koruptor dibanding rakyat kecil yang mencuri sandal atau ayam menunjukkan ketidakadilan struktural. Hukum sah, tetapi moralitasnya dipertanyakan
5. Analisis Falsifikasi Hukum
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 → “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.” Dicabutnya PP No. 99 Tahun 2012 yang dulunya memperketat syarat bebas bersyarat bagi koruptor melemahkan efek jera.
Analisis: Pelonggaran aturan pemasyarakatan membuka ruang manipulasi hukum. Ketika elite politik mendapat perlakuan lunak, sementara rakyat kecil dihukum berat, maka prinsip equality before the law hanya menjadi slogan. Hukum terfalsifikasi: bukan alat keadilan, melainkan alat kepentingan.
Kesimpulan
Bebas bersyarat Setya Novanto sah menurut hukum positif, tetapi cacat dari perspektif keadilan substantif. Lima analisis hukum menunjukkan:
- Kategorisasi → terjadi dualisme norma (pemasyarakatan vs tipikor).
- Klarifikasi → prosedur sah, keadilan substantif hilang.
- Verifikasi → formalitas terpenuhi, legitimasi moral dipertanyakan.
- Validasi → sah secara hukum, lemah secara etika.
- Falsifikasi → hukum rawan dimanipulasi, menimbulkan inequality before the law.
Setnov kini menjadi simbol “diskon hukum terbesar” di negeri ini. Sejarah mencatat, di Indonesia bukan hanya korupsi yang jadi warisan, tapi juga tiang listrik dan diskon hukum yang menertawakan prinsip keadilan.