Oleh Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Dengan jejak sejarah yang kuat, basis multikultural yang hidup, dan filosofi Pancasila sebagai kompas yang muncul dalam visi UNTAN dijiwai nilai nilai Pancasila, menjadikan UNTAN berpotensi menjadi ikon percontohan pendidikan karakter Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia, yaitu Pendikar, Seperti seperti thawaf atau bahasa Kalimantan Gilir Balik sebagai konsep berkelanjutan dalam tradisi menjaga lingkungan hidup di bumi Kalimantan Barat yang tak pernah putus mengelilingi pusat nilai yang terwujud kearifan lokal, maka karakter pendidikan di UNTAN diharapkan menjadi lingkaran kebaikan yang terus berputar, menghasilkan lulusan yang mampu mempersatukan keberagaman dan mengangkat martabat bangsa.
Jejak Peradaban Tanjungpura → UNTAN
1) Akar Peradaban Tanjungpura
Tanjungpura (Matan/Sukadana) adalah nama Kerajaan dan dikenal sebagai pusat kuasa maritim–sungai di pesisir barat Kalimantan. Karakter peradaban: pelabuhan niaga, budaya sungai (Kapuas–Pawan), pertukaran Melayu–Dayak–Bugis–Tionghoa–Arab, serta jaringan ulama–pedagang. Institusi sosial–keagamaan: surau/masjid, hukum adat bersanding syarak, manuskrip, dan tradisi lisan—menjadi “modal budaya” bagi ekosistem ilmu di kemudian hari.
2) Transformasi Politik–Kebudayaan
Fragmentasi & alih-pusat: dari Tanjungpura lahir/dipengaruhi entitas lain (Matan, Sambas, Mempawah), hingga Kesultanan Pontianak berdiri kemudian sebagai simpul niaga–ulama baru. Kolonialisme & modernitas: administrasi kolonial memantik sekolah modern, literasi baru, dan birokrasi hukum; tradisi lokal bernegosiasi dengan hukum positif. Kebangkitan kota sungai: Pontianak tumbuh sebagai kota dagang–pendidikan—mewarisi ethos kosmopolitan Tanjungpura.
3) Benang Merah Intelektual
Epistem budaya sungai: keahlian navigasi, mitigasi banjir–sedimentasi, tata ruang tepian; hari ini relevan bagi riset lingkungan, teknik sipil, perikanan. Hukum adat & syarak: musyawarah, kearifan lokal, dan peradilan adat mengilhami ilmu hukum, administrasi publik, sosiologi hukum. Niaga & jaringan: ekonomi pelabuhan, komoditas hulu–hilir, kelembagaan niaga → basis ilmu ekonomi, manajemen, akuntansi. Kosmopolitanisme ilmu: pergaulan ulama–pedagang–bangsawan membentuk ekosistem filologi, sejarah, kebudayaan, studi keislaman.
4) Dari Kesultanan Pontianak ke Universitas
Pontianak sebagai simpul pemerintahan, perdagangan, dan dakwah menjadi ruang publik ilmu: sekolah, percetakan, ormas, dan jaringan guru–ulama. Saat republik terbentuk, kebutuhan kaderisasi birokrasi, tenaga teknis, dan cendekia di Kalimantan Barat memuncak—mendorong berdirinya perguruan tinggi.
Nama “Universitas Tanjungpura” dipilih untuk mengikat identitas historis wilayah pada warisan peradaban Tanjungpura: maritim–sungai, multikultural, berorientasi niaga–ilmu.
5) Makna Nama “Tanjungpura” bagi UNTAN (Hari Ini)
Identitas: simbol kontinuitas sejarah lokal → kampus berakar bumi Kalbar namun berwawasan global. Misi keilmuan: menjembatani kearifan lokal (adat, sungai, hutan gambut, pesisir) dengan sains modern (lingkungan, kehutanan, kelautan, rekayasa). Tridarma kontekstual:
Pendidikan dan berbagai hasil penelitian atau materi muatan kurikulum yang memasukkan local wisdom (hukum adat, sejarah maritim, ekologi Kapuas). Riset: sungai–pesisir, keanekaragaman hayati, pangan lokal, transformasi hukum & tata kelola. Pengabdian: penguatan desa sungai, literasi hukum, mitigasi bencana hidrometeorologi, digitalisasi naskah & arsip lokal.
6) Garis Waktu Singkat (Skematik)
Abad 14–17: Kerajaan Tanjungpura/Matan–Sukadana sebagai pusat maritim dan niaga. Abad 18: Munculnya simpul-simpul baru (Pontianak) yang meneruskan jejaring niaga–ulama. Abad 19–awal 20: Modernisasi kolonial; sekolah & administrasi hukum bertumbuh. Abad 20 Salah satu Kesultanan Kadriyah yang berada pertengahan: Kota Pontianak menguat sebagai pusat pemerintahan–ekonomi–pendidikan.
Perguruan tinggi di Pontianak mengambil nama “Tanjungpura” untuk menegaskan kesinambungan sejarah peradaban–ilmu. Tataran inilah meninggalkan jejak sejarah panjang Kalimantan Barat yang mencatat, bahwa peradaban besar telah bersemi jauh sebelum lahirnya Indonesia modern. Kerajaan Tanjungpura, yang dikenal sebagai pusat maritim dan perdagangan di pesisir barat Kalimantan, menjadi simpul pertemuan berbagai budaya: Melayu, Dayak, Bugis, Tionghoa, Arab, hingga Eropa. Peradaban ini membentuk karakter masyarakat yang kosmopolitan, terbuka, dan toleran, namun tetap berakar pada nilai adat dan syarak. Dari Tanjungpura kemudian lahir berbagai entitas politik, termasuk Kesultanan Pontianak, yang pada gilirannya menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan di wilayah ini.
Kesultanan Pontianak, melalui salah satu tokohnya, Sultan Hamid II, memberi warisan penting bagi Indonesia: rancangan Lambang Negara Rajawali Garuda Pancasila. Rancangan ini tidak sekadar karya seni heraldik, tetapi peta nilai bangsa. Di dada Garuda, Sultan Hamid II menempatkan perisai berisi simbol kelima sila Pancasila, dengan nur cahaya yang berbentuk simbol bintang emas bersegi lima di pusatnya. Nur Cahaya yang berbentuk Bintang Emas itu adalah lambang Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menjadi pusat orientasi nilai, sumber cahaya moral, dan poros pengikat empat sila lainnya.
Falsafah ini sejalan dengan konsep Pancasila “berthawaf”—ibarat thawaf dalam ibadah haji, di mana semua bergerak mengelilingi satu pusat nilai. Dalam orbit itu, Kerakyatan, Persatuan, Keadilan Sosial, dan Kemanusiaan berputar mengelilingi Ketuhanan, menjaga keseimbangan dan arah bangsa. Garuda dengan sayap terbentang melambangkan kekuatan dan keterbukaan terhadap dunia, sementara pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika di cengkeramannya menegaskan persatuan dalam keberagaman.
Prinsip Bhinneka Tunggal Ika inilah yang menjadi napas Universitas Tanjungpura (UNTAN) Pontianak. Pemilihan nama “Tanjungpura” mengikat kampus ini pada warisan sejarah yang menjunjung persatuan dalam keberagaman. UNTAN menjadi miniatur Indonesia, tempat mahasiswa dari berbagai etnis, agama, dan daerah belajar bersama, membangun toleransi, dan menghidupkan semangat kebersamaan.
Filosofi Pancasila “berthawaf” dihidupkan dalam pendidikan karakter UNTAN. Ketuhanan diwujudkan dalam pembinaan moral dan spiritual mahasiswa. Persatuan tercermin dari suasana akademik yang inklusif. Kerakyatan hadir melalui demokrasi kampus dan budaya musyawarah. Keadilan sosial diwujudkan dengan pemerataan akses pendidikan dan pengabdian ke daerah terpencil. Kemanusiaan dijalankan melalui kegiatan sosial, penelitian, dan inovasi yang bermanfaat bagi rakyat.
Dengan akar sejarah yang kuat, warisan nilai dari peradaban Tanjungpura, simbol negara rancangan Sultan Hamid II, serta komitmen terhadap pendidikan karakter, UNTAN berpotensi menjadi ikon percontohan pendidikan karakter Bhinneka Tunggal Ika di Indonesia. Seperti thawaf yang tak pernah putus mengelilingi Ka’bah, pendidikan di UNTAN diharapkan terus berputar mengelilingi pusat nilai moral bangsa, menghasilkan lulusan yang mampu mempersatukan keberagaman, menjaga persatuan, dan membawa Indonesia maju di tengah pergaulan dunia.
Dengan demikian Universitas Tanjungpura Pontianak (UNTAN) bukan sekadar lembaga pendidikan tinggi di Kalimantan Barat, melainkan warisan hidup dari peradaban panjang yang dimulai dari Kerajaan Tanjungpura, berkembang melalui Kesultanan Pontianak, dan kini menjelma menjadi pusat pembelajaran modern. Nama “Tanjungpura” sendiri dipilih untuk mengikat identitas kampus dengan akar sejarah dan nilai-nilai luhur Nusantara, terutama nilai persatuan dalam keberagaman, atau bhina Ika tunggal Ika sebagai pidato Bung Karno 22 Juli 1958 di Istana Negara tentang Diskursus Pancasila dihadapan elemen mahasiswa seluruh Indonesia.
Prinsip Bhinneka Tunggal Ika—yang menjadi semboyan pada pita cengkeraman Garuda Pancasila rancangan Sultan Hamid II—menyatu dengan sejarah sosial Kalimantan Barat yang multikultural. Dari masa Tanjungpura hingga kini, wilayah ini menjadi rumah bagi berbagai etnis: Melayu, Dayak, Tionghoa, Bugis, Jawa, Madura, dan lain-lain, yang hidup berdampingan di satu ruang geografis yang sama. Semangat itu pula yang UNTAN bawa dalam dunia akademik, menjadi miniatur Indonesia di tengah keberagaman mahasiswanya.
Filosofi Pancasila “berthawaf”—di mana seluruh sila mengorbit mengelilingi pusat nilai Ketuhanan Yang Maha Esa—dapat diibaratkan sebagai falsafah pendidikan karakter di UNTAN. Dalam orbit itu: Sila Persatuan Indonesia tercermin dalam interaksi lintas budaya di kampus yang mengutamakan toleransi. Sila Kerakyatan diwujudkan melalui demokrasi kampus, musyawarah mahasiswa, dan kepemimpinan kolektif. Sila Keadilan Sosial hadir dalam akses pendidikan yang merata, beasiswa, dan program pengabdian masyarakat di daerah terpencil. Sila Kemanusiaan tampak dalam kegiatan sosial, penanggulangan bencana, dan penelitian yang memberi manfaat bagi rakyat.
Akhirnya UNTAN menempatkan pendidikan karakter sebagai inti kurikulumnya—tidak sekadar transfer ilmu, tetapi pembentukan pribadi berintegritas, toleran, dan peduli lingkungan. Inilah kelanjutan dari “perisai nilai” Pancasila rancangan Sultan Hamid II: perisai yang di masa lalu melindungi negara, kini juga melindungi dan membentuk generasi muda agar tetap berporos pada nilai moral, sambil siap berkompetisi secara global.