Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak dan Tim Pakar IKAL Kalimantan Barat
Liputan Aktual.id Pontianak, Analisis atas konflik hukum terkait Desa Pulau Pengikik Kecamatan Tambelan Kabupaten Bintan Provinsi Riau dengan Batas Provinsi Kalimantan Barat, cq Kabupaten Mempawah, berikut adalah enam bentuk analisis hukum secara sistematis:
1. Analisis Hukum (Legal Analysis)
Objek: Keabsahan penggunaan Kontrak Kolonial 1857 dalam Perda Bintan No. 19 Tahun 2007
Analisis: Kontrak Kolonial 1857 adalah bentuk perjanjian penaklukan (submission treaty) antara Belanda dan Kesultanan Lingga-Riau. Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, perjanjian kolonial tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan nasional. Dengan demikian, tidak memiliki kekuatan hukum dalam NKRI.
Kesimpulan: Penggunaan kontrak 1857 dalam penegasan batas wilayah oleh Perda No. 19 Tahun 2007 cacat hukum karena tidak sesuai dengan sistem hukum nasional Indonesia (lex lata), melanggar prinsip hierarki hukum (lex superior derogat legi inferiori).
2.Analisis Kategorisasi Hukum (Legal Categorization Analysis)
Objek: Klasifikasi norma dalam Perda Bintan No. 19 Tahun 2007
Analisis: Pasal 20 ayat (8) menunjuk Pulau Datok sebagai batas timur, namun dalam implementasi peta justru dimasukkan Pulau Pengikik, yang secara historis tidak disebut. Ini menimbulkan anomali kategori hukum:
Norma tekstual: hanya menyebut Pulau Datok.
Norma implementatif: mencantumkan wilayah lain (Pulau Pengikik) tanpa dasar eksplisit.
Kesimpulan: Telah terjadi penyimpangan kategorisasi norma hukum, di mana substansi perda tidak sejalan dengan implementasi administratif (penyisipan Pulau Pengikik). Ini termasuk legal smuggling dan dapat digugat ke Mahkamah Agung.
3.Analisis Klarifikasi Hukum (Legal Clarification Analysis)
Objek: Kejelasan status hukum Pulau Pengikik
Analisis: Berdasarkan dokumen:
Pulau Pengikik tidak secara eksplisit disebut dalam Kontrak 1857. Dokumen Protokol 21 Desember 1949, Risalah Gubernur Kalimantan 1950, dan Afdeeling Westerafdeeling van Borneo menunjukkan wilayah ini masuk yurisdiksi Kalimantan Barat.
Kesimpulan: Secara historis dan administratif, status Pulau Pengikik adalah bagian dari Kalimantan Barat, bukan Kepulauan Riau. Perlu klarifikasi resmi dari Kemendagri dan BIG.
4. Analisis Verifikasi Hukum (Legal Verification Analysis)
Objek: Kesesuaian Perda No. 19 Tahun 2007 dengan peraturan yang lebih tinggi
Analisis: Mengacu pada:
- UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
- Permendagri No. 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah
Verifikasi menunjukkan: Tidak adanya pelibatan Kabupaten Mempawah dalam berita acara batas. Peta batas tidak sesuai dengan koordinat resmi BIG.
Kesimpulan: Verifikasi menunjukkan cacat prosedur administratif, melanggar asas partisipasi (AUPB) dan asas transparansi. Berita acara yang dihasilkan tidak sah secara hukum.
5. Analisis Validasi Hukum (Legal Validation Analysis)
Objek: Pengesahan legalitas peta wilayah dan dokumen yang digunakan
Analisis: Dokumen dasar yang valid dalam sistem hukum: Peta RBI oleh BIG UU No. 9 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalbar Protokol Internasional KMB 21 Desember 1949 Sebaliknya, peta kolonial atau kontrak 1857 tidak pernah divalidasi sebagai dasar hukum pasca kemerdekaan.
Kesimpulan: Validasi terhadap dokumen pembentuk batas wilayah harus berbasis regulasi nasional yang berlaku. Dokumen kolonial tidak dapat divalidasi dalam konteks hukum positif Indonesia.
6.Analisis Falsifikasi Hukum (Legal Falsification Analysis)
Objek:Pembuktian kesalahan dokumen kolonial sebagai dasar hukum wilayah
Analisis: Dokumen kontrak 1857 dibatalkan Belanda sendiri pada 1911. Pulau Pengikik tidak tercantum secara eksplisit dalam kontrak tersebut. Protokol KMB 1949 dan DIKB 1950 menjadi hukum yang membatalkan seluruh klaim lama kolonial.
Kesimpulan: Terdapat bukti kuat bahwa dasar hukum kolonial tersebut telah gugur, dan karenanya penggunaan dalam perda adalah bentuk penyesatan hukum (legal misrepresentation) yang harus difalsifikasi secara administratif dan konstitusional. Legal Opinion yang berisi narasi enam analisis hukum sesuai dengan bunyi pasal dan dasar hukum resmi, dengan struktur sistematis dan berwibawa, untuk mendukung sikap Sultan Syarif Melvin AlKadrie, S.H. dan DPD RI terkait sengketa Pulau Pengikik:
LEGAL OPINION
Tentang:Ketidaksahan Penggunaan Kontrak Kolonial 1857 dalam Penegasan Batas Wilayah Pulau Pengikik serta Ketidaksinkronan Pasal 20 Ayat (8) Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007 dengan Sistem Hukum Nasional
Disusun oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur, S.H., M.Hum. Menteri Dalam Negeri Kesultanan Kadriah Pontianak Ahli Hukum Tata Negara dan Sejarah Hukum Indonesia
1. Analisis Hukum (Legal Analysis)
Bunyi Pasal:
- Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
- Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011: “Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: UUD NRI 1945, UU/Perppu, PP, Perpres, dan Perda…”
Analisis: Kontrak kolonial 1857 yang berbentuk perjanjian penaklukan (submission treaty) antara Belanda dan Kesultanan Lingga-Riau bukan merupakan bagian dari sistem hukum nasional Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 12 Tahun 2011. Oleh karena itu, tidak sah dijadikan dasar hukum penetapan batas wilayah administratif, termasuk dalam Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007.
2.Analisis Kategorisasi Hukum (Legal Categorization Analysis)
Bunyi Pasal: Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan No. 19 Tahun 2007: Batas Timur Kecamatan Tambelan berbatasan dengan Pulau Datok, Provinsi Kalimantan Barat.”
Analisis: Norma ini tidak menyebut Pulau Pengikik, tetapi secara implisit digunakan dalam peta wilayah administratif Kabupaten Bintan. Hal ini menciptakan kontradiksi antara teks norma dan implementasinya, yang dikenal sebagai penyelundupan norma hukum (legal smuggling). Kategori wilayah yang disebut secara eksplisit (Pulau Datok) tidak dapat dijadikan dalih untuk memasukkan wilayah lain (Pulau Pengikik) tanpa proses hukum formal.
3.Analisis Klarifikasi Hukum (Legal Clarification Analysis)
Bunyi Pasal:
- Pasal 18B ayat (1) UUD 1945: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa…”
- Pasal 18 UUD 1945: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi…”
Analisis: Pulau Pengikik secara historis masuk dalam wilayah Afdeeling Westerafdeeling van Borneo di bawah Keresidenan Pontianak, dan kemudian masuk ke dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) sejak 14 Mei 1947. Tidak pernah ada dokumen yang menyatakan Pulau Pengikik sebagai bagian dari wilayah administratif Riau atau Lingga-Riau. Maka perlu klarifikasi hukum secara resmi oleh Kemendagri, BIG, dan Mahkamah Agung.
4. Analisis Verifikasi Hukum (Legal Verification Analysis)
Bunyi Pasal:
- Pasal 6 Permendagri No. 141 Tahun 2017:
“Penegasan batas daerah dilakukan melalui verifikasi dokumen hukum, survei lapangan, dan kesepakatan bersama antar daerah yang berbatasan.” - Pasal 17 huruf b UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan:
“Keputusan tata usaha negara dapat batal demi hukum apabila tidak dilakukan dengan prosedur yang ditetapkan.”
Analisis: Dokumen berita acara batas wilayah antara Provinsi Riau dan Kalimantan Barat tidak melibatkan Kabupaten Mempawah, yang secara administratif memiliki wilayah Pulau Pengikik. Hal ini melanggar prinsip partisipasi dan prosedur penegasan batas, menjadikan dokumen tersebut cacat secara administratif dan hukum, serta melanggar Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
5. Analisis Validasi Hukum (Legal Validation Analysis)
Bunyi Pasal:
- Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011:
“Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas: UUD, UU/Perppu, PP, Perpres, dan Perda.” - UU No. 9 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Barat
- UU No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau
Analisis: Satu-satunya dokumen yang memiliki validitas hukum dalam penegasan batas adalah: UU pembentukan provinsi, Permendagri tentang batas wilayah, dan Peta RBI oleh BIG. Kontrak kolonial dan peta warisan Hindia Belanda tidak divalidasi oleh sistem hukum positif Indonesia.
6.Analisis Falsifikasi Hukum (Legal Falsification Analysis)
Bunyi Pasal:
- Prinsip Hukum Internasional Rebus Sic Stantibus: “Perjanjian dapat gugur apabila keadaan fundamental yang mendasarinya berubah secara radikal.”
- Protokol Hukum Internasional 21 Desember 1949 dan Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949
Analisis: Kontrak 1857 telah gugur de jure dan de facto sejak Belanda membubarkan Kesultanan Riau-Lingga pada tahun 1911. Pengakuan kedaulatan Indonesia tahun 1949 serta pembentukan DIKB menjadi bukti bahwa Pulau Pengikik tidak lagi dapat diklaim berdasarkan warisan kolonial, dan justru secara hukum termasuk dalam wilayah Kalimantan Barat.
KESIMPULAN LEGAL OPINION:
Berdasarkan seluruh pasal dan dokumen hukum nasional yang sah, maka dapat disimpulkan bahwa:
- Pasal 20 ayat (8) Perda Kabupaten Bintan No. 19 Tahun 2007 bertentangan dengan prinsip legalitas, prosedur penegasan batas wilayah, dan hierarki peraturan perundang-undangan.
- Penggunaan Kontrak Kolonial 1857 sebagai rujukan hukum adalah tidak sah, tidak valid, dan dapat difalsifikasi
- Pemerintah pusat harus meninjau ulang kode wilayah Pulau Pengikik, dengan melibatkan pihak yang berhak, termasuk Kesultanan Pontianak dan Pemkab Mempawah.
- DPD RI dapat mendorong judicial review ke Mahkamah Agung, sekaligus menegaskan posisi konstitusional Kalbar melalui Protokol KMB 1949 dan Undang-Undang pembentukan provinsi.