Oleh: Tengku Mulia Dilaga Turiman Fachturahman Nur
Kilas Balik Sejarah
Pertarungan narasi sejarah tentang Sultan Hamid II kembali menyeruak ke ruang publik ketika masyarakat Kalimantan Barat mengajukan beliau sebagai Pahlawan Nasional. Hal ini didasarkan pada fakta historis bahwa Sultan Hamid II adalah perancang resmi lambang negara Republik Indonesia, yaitu Rajawali Garuda Pancasila. Lambang tersebut awalnya dimaksudkan sebagai lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang kemudian ditetapkan oleh Parlemen RIS pada 11 Februari 1950, dan tetap digunakan hingga kini sebagai identitas resmi Republik Indonesia. Namun, di balik fakta historis tersebut, fitnah dan stigma terus diarahkan kepada Sultan Hamid II. Ia dituduh berkhianat, dianggap terlibat dalam gerakan kontra-NKRI, padahal posisi beliau sebagai pejabat negara RIS adalah konstitusional. Fitnah inilah yang saya sebut sebagai kualat sejarah, sebab menutup jasa monumental seorang perancang lambang negara dengan tuduhan yang belum tentu berdasar fakta hukum yang objektif.
Mari kita analisis sejarah selalu Gilir Balik, Faktanya lebih dalam konteks inilah, saya ingin mengaitkan dengan pernyataan AM Hendropriyono, yang mengatakan bahwa demonstrasi yang marak saat ini memiliki “dalang”. Pernyataan ini seakan menegaskan bahwa ada kuda Troya politik yang selalu hadir dalam momentum krisis bangsa. Bila dikorelasikan dengan sejarah Sultan Hamid II, maka kita dapat melihat pola yang sama: adanya framing politik untuk melemahkan legitimasi tokoh bangsa yang sesungguhnya berkontribusi besar pada fondasi negara.
Fakta sejarah hukum mencatat , bahwa Sultan Hamid II, sebagai perancang Lambang Negara Republik Indonesia Garuda Pancasila, kerap menjadi korban narasi sejarah yang bias dan penuh fitnah. Padahal fakta historis mencatat, desain lambang negara yang ia rancang mula-mula dimaksudkan sebagai lambang Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), dan secara resmi disahkan oleh Parlemen RIS pada 11 Februari 1950. Transformasi RIS menjadi Negara Kesatuan tidak menghapuskan fakta monumental bahwa Garuda Pancasila adalah karya intelektual, estetika, dan politik Sultan Hamid II.
KIta masih ingat., ketika, setiap kali masyarakat Kalimantan Barat mengajukan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional, muncul resistensi dan fitnah yang menggiring opini publik seolah beliau tidak layak. Fenomena inilah yang disebut sebagai “politik ingatan” atau rekayasa sejarah: mengaburkan jasa tokoh bangsa dengan menekankan stigma masa lalu. Dalam perspektif analisis hukum tata negara, terdapat indikasi pelanggaran atas hak konstitusional masyarakat untuk mendapatkan sejarah yang benar. Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk memperoleh informasi yang benar, sedangkan fitnah dan distorsi sejarah bertentangan dengan cita hukum (rechtidee) Pancasila, terutama sila ke-2 (kemanusiaan yang adil dan beradab) serta sila ke-5 (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia)
Pernyataan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono bahwa Sultan Hamid II tidak layak diberi gelar pahlawan nasional karena merupakan seorang pengkhianat menuai protes dari sejumlah kalangan. Protes keras, salah satunya, dilayangkan Sultan Pontianak IX Sultan Syarif Machmud Melvin Alqadrie.Kepada Pontianak Post, Sultan Melvin menyatakan bahwa pernyataan Hendropriyono tersebut merupakan fitnah terhadap Sultan Hamid II yang merupakan perancang Lambang Negara Garuda Pancasila.
“Apa yang disampaikan Hendropriyono merupakan fitnah yang tidak berdasar,” ujarnya, Sabtu (13/6) 14 Juni 2020 jejak digital itu dicatat. Melvin mengatakan, banyak pihak di Pontianak yang marah atas pernyataan Hendropriyono tersebut. Melvin sendiri, yang merupakan Cucu Sultan Hamid II, mengaku tersinggung atas pernyataan tersebut. Karena itu, Sultan Melvin mendesak aparat penegak hukum segera menangkap Hendropriyono. “Pernyataan Hendropriyono telah menghina kakek kami yang telah banyak jasanya bagi Indonesia,” tegas Melvin. “Jangan menunggu sampai masyarakat marah dan bergerak,” tegasnya. Melvin juga meminta Gubernur Kalbar Sutarmijdi agar ikut merespon kasus ini. “Jangan hanya diam sebagai penonton,”ujarnya. Sebagaimana diketahui, AM Hendropriyono mengeluarkan pernyataan kontroversial dalam sebuah rekaman yang tayang di kanal Youtube pada 11 Juni, 2020. Dalam rekaman itu, Hendropriyono menyebutkan alasan mengapa Sultan Hamid II tidak layak dinobatkan sebagai pahlawan nasional.
“Tiap tahun kan ada pengusulan untuk menjadi pahlawan nasional, pada peringatan 17 agustus, hari proklamasi kemerdekaan republik Indonesia. Akhir-akhir ini kan gencar sekali saya menerima WhatsApp, saya kira ini viral ya di media sosial tentang pengusulan Sultan Hamid II dari Pontianak sebagai pahlawan nasional. Saya ingatkan kepada generasi penerus bangsa, para kaum muda, jangan sampai tersesat dengan suatu usaha politisasi sejarah bangsa kita. Karena Sultan Hamid II ini, bukannya pejuang bangsa Indonesia,” jelas Hendropriyono.
Ini fitnahnya Hendropriyono menjelaskan, definisi pahlawan nasional adalah orang yang merebut dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Menurut Hendropriyono, Sultan Hamid II tidak masuk kategori tersebut. “Dia justru dulunya adalah tentara KNIL (Tentara Belanda di Indonesia) yang pro ke Belanda. Jadi tidak pro ke Indonesia. Dia bahkan pernah ditugaskan untuk memerangi kita (Indonesia),” paparnya.Dalam kesempatan itu, Hendropriyono menuding Sultan Hamid II sebagai pengkhianat bangsa Indonesia. “Ketika Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat, pada tahun 1950 rakyat menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan, dia tidak happy. Dia tidak senang. Dia tetap ingin menjadi federalis,
Analisis Hukum
1. Analisis Historis-Hukum, Lambang negara Garuda Pancasila adalah hasil karya Sultan Hamid II yang sah secara hukum, karena ditetapkan oleh Parlemen RIS pada 1950. Dengan demikian, tidak ada dasar hukum untuk menghapus atau menafikan jasa tersebut.
2. Analisis Kategorisasi Hukum, Fitnah terhadap Sultan Hamid II masuk dalam kategori distorsi sejarah, yang berdampak pada hak kolektif masyarakat Kalimantan Barat dalam memperoleh keadilan sejarah dan rekognisi nasional. Analisis Kategorisasi Hukum, Kasus Sultan Hamid II masuk kategori rekonsiliasi sejarah dan hak masyarakat atas kebenaran sejarah. Bandingkan Pernyataan Hendro Priyono masuk kategori freedom of expression versus politik pengendalian massa.
3. Analisis Klarifikasi Hukum, Berdasarkan dokumen resmi Parlemen RIS, perancangan lambang negara adalah tugas Sultan Hamid II yang dijalankan sesuai amanah konstitusi. Klarifikasi ini menegaskan bahwa perannya sah, bukan sebagai aktor politik subversif. Analisis Klarifikasi Hukum Fakta sejarah menetapkan Garuda Pancasila adalah karya Sultan Hamid II. Klarifikasi perlu dilakukan terhadap pernyataan yang menstigma seolah Sultan Hamid II tidak layak.
4. Analisis Verifikasi Hukum, Verifikasi terhadap arsip-arsip resmi menunjukkan bahwa lambang negara yang kita gunakan sekarang adalah karya Sultan Hamid II, bukan karya pihak lain. Dengan demikian, setiap tuduhan yang menafikan peran beliau dapat dibantah dengan bukti dokumen konstitusional.3. Analisis Verifikasi Hukum. Dokumen Parlemen RIS 1950 dan arsip negara merupakan bukti sahih. Pernyataan elite politik tanpa dasar hukum tidak dapat dijadikan kebenaran hukum.
5. Analisis Validasi Hukum, Validasi hukum menunjukkan bahwa penetapan lambang negara dalam Parlemen RIS telah melewati proses hukum tata negara yang sah. Maka, pengakuan jasa Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional memiliki dasar legitimasi hukum yang kuat.Analisis Validasi Hukum, Validasi hukum terhadap pengajuan Pahlawan Nasional didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan.Sultan Hamid II memenuhi unsur jasa besar, meski masih dihambat oleh stigma politik.
6. Analisis Falsifikasi Hukum
Semua tuduhan bahwa Sultan Hamid II adalah pengkhianat harus diuji secara falsifikatif: adakah bukti hukum sahih yang menguatkan tuduhan itu? Bila tidak ada, maka fitnah tersebut gugur dengan sendirinya.5. Analisis Falsifikasi Hukum, Fitnah dan tuduhan terhadap Sultan Hamid II harus diuji dengan falsifikasi sejarah. Jika tuduhan tidak bisa dibuktikan dengan dokumen hukum, maka gugur demi hukum.
Kita baca secara cerdas, bahwa kisah Sultan Hamid II dan pernyataan Hendropriyono memiliki benang merah: politik sering menghadirkan kuda Troya untuk membelokkan kebenaran. Baik dalam demonstrasi saat ini maupun dalam sejarah perumusan lambang negara, ada upaya sistematis untuk mengaburkan fakta. Oleh sebab itu, bangsa ini harus belajar dari semiotika sejarah dan hukum: jangan sampai jasa besar seorang putra bangsa justru dikubur oleh stigma, sementara kebenaran hukum dikesampingkan.
Korelasi dengan Pernyataan Hendro Priyono
Ketika Jenderal (Purn) Hendro Priyono menyatakan bahwa demonstrasi saat ini ada dalangnya, narasi ini bisa dikaitkan dengan pola lama dalam politik Indonesia: framing politik bahwa setiap gerakan rakyat bukanlah murni aspirasi, melainkan dikendalikan oleh “aktor bayangan”. Inilah yang dalam semiotika politik bisa disebut sebagai “Kuda Troya”: simbol infiltrasi kekuatan politik tersembunyi yang menunggangi isu publik untuk tujuan tertentu. Jika korelasi ini ditarik ke kasus Sultan Hamid II, maka jelas: upaya penolakan pengajuan gelar pahlawan nasional terhadap beliau seringkali juga dimainkan oleh “dalang politik” yang berkepentingan menjaga status quo narasi sejarah. Artinya, politik pengaburan sejarah sama bahayanya dengan politik pengendalian demonstrasi — keduanya mengingkari kedaulatan rakyat sebagai pemilik kebenaran dan aspirasi.
Berdasarkan analisis Semiotika hukum dari perspektif semiotika hukum, fitnah terhadap Sultan Hamid II adalah bentuk dekontruksi makna lambang negara yang justru melemahkan identitas bangsa. Sama halnya dengan pernyataan Hendro Priyono tentang dalang demonstrasi, keduanya menunjukkan bagaimana politik kecurigaan dapat menjadi instrumen untuk membungkam aspirasi dan menutup kebenaran. Maka, bangsa ini harus berani melawan “Kuda Troya Politik” dengan mengembalikan sejarah kepada fakta hukum dan menegakkan Demokrasi Pancasila yang sejati: aspirasi rakyat tanpa rekayasa.
Kita masih ingat, ketika masyarakat Kalimantan Barat mengajukan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional, sesungguhnya yang mereka perjuangkan bukan sekadar nama seorang bangsawan, tetapi restorasi kebenaran sejarah bangsa. Sultan Hamid II adalah perancang Lambang Negara Republik Indonesia, Elang Rajawali Garuda Pancasila, yang awalnya ditetapkan oleh Parlemen RIS pada 11 Februari 1950. Lambang ini adalah simbol persatuan, namun ironisnya, sang perancang justru difitnah dengan berbagai narasi politik, sehingga sampai hari ini pengakuannya masih tertunda. Dalam kerangka semiotika hukum, fitnah yang diarahkan kepada Sultan Hamid II dapat dibaca sebagai upaya delegitimasi simbolik — yakni memutus hubungan antara pencipta lambang dengan makna historisnya. Inilah yang disebut “kualat sejarah”, karena bangsa yang memalsukan sejarah akan menuai kebuntuan identitas dan kehilangan arah cita hukum (rechtidee) Pancasila itu sendiri.
Lalu, bagaimana korelasi dengan pernyataan Hendropriyono yang menyebut bahwa demonstrasi hari ini ada dalangnya?
Jika dibaca dengan hermeneutika politik, pernyataan itu sejatinya membuka ruang tafsir bahwa di balik setiap gejolak sosial ada “kuda Troya politik” yang sedang bekerja. Seperti halnya Sultan Hamid II dahulu menjadi korban fitnah politik yang dikonstruksi oleh kekuatan tertentu, kini pun rakyat dipertontonkan drama demonstrasi dengan stigma “dalang” di baliknya.
Di sinilah relevansi analisis hukum saya:
1. Analisis Kategorisasi Hukum → Fitnah terhadap Sultan Hamid II masuk kategori abuse of history, yakni penyalahgunaan narasi hukum dan politik untuk menyingkirkan tokoh.Analisis Kategorisasi Hukum. Kasus Sultan Hamid II dikategorikan sebagai perkara rekonstruksi sejarah hukum. Ia bukan pelaku makar, melainkan tokoh konstitusional RIS yang sah. Pernyataan tentang “dalang demonstrasi” masuk kategori pernyataan politik, bukan norma hukum, namun berimplikasi pada opini publik.
2. Analisis Klarifikasi Hukum → Fakta hukum menunjukkan, Sultan Hamid II adalah perancang sah lambang negara, dibuktikan melalui arsip-arsip Parlemen RIS dan dokumen resmi negara.Analisis Klarifikasi Hukum, Fakta hukum: Lambang negara ditetapkan oleh Parlemen RIS (11 Februari 1950).Fakta hukum: Tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan Sultan Hamid II sebagai pengkhianat bangsa. Fakta hukum: Demonstrasi adalah hak konstitusional yang dijamin Pasal 28E UUD 1945.
3. Analisis Verifikasi Hukum → Kesaksian sejarah dan literatur akademik telah memverifikasi peran beliau, sehingga tidak ada dasar hukum untuk meniadakan jasanya.Analisis Verifikasi Hukum. Verifikasi dilakukan melalui arsip resmi RIS, dokumen parlemen, dan surat keputusan pengesahan lambang negara. Verifikasi pernyataan Hendro Priyono: perlu diuji konteksnya, apakah sekadar pandangan politik atau ada bukti hukum terkait “dalang”.
4. Analisis Validasi Hukum → Negara wajib memvalidasi kebenaran sejarah dengan memberikan pengakuan resmi sebagai Pahlawan Nasional, bukan menutupinya dengan stigma politik.Analisis Validasi Hukum , Validasi menunjukkan bahwa klaim pengkhianatan terhadap Sultan Hamid II tidak memiliki landasan hukum yang sahih. Validasi hak berdemonstrasi: sah dan konstitusional, kecuali jika terbukti ada tindak pidana.
5. Analisis Falsifikasi Hukum → Upaya menolak atau memfitnah Sultan Hamid II adalah bentuk falsifikasi sejarah, yang dalam hukum tata negara termasuk bentuk pelanggaran terhadap hak masyarakat atas sejarah yang benar. Analisis Falsifikasi Hukum, Falsifikasi atas stigma “Sultan Hamid II pengkhianat” sudah runtuh oleh data sejarah. Falsifikasi narasi “semua demo ada dalangnya” harus diuji: tidak semua demonstrasi lahir karena rekayasa; sebagian lahir dari kesadaran kolektif rakyat
Dengan demikian, fitnah terhadap Sultan Hamid II dan stigma “dalang demonstrasi” yang dilontarkan Hendropriyono adalah cermin politik scapegoating (pengkambinghitaman). Sama-sama menyingkirkan tokoh atau gerakan dengan cara menciptakan narasi yang menakut-nakuti publik.Maka, sebagai bangsa, kita harus sadar bahwa membedakan antara kritik rakyat dan fitnah politik adalah inti tegaknya negara hukum. Jika tidak, sejarah akan terus berulang: pahlawan difitnah, rakyat dituduh, hukum dibungkam, sementara “kuda Troya politik” bebas berkeliaran dalam tubuh negara.
Sejarah bangsa ini tak bisa dipisahkan dari simbol yang mempersatukan. Garuda Pancasila bukan sekadar burung rajawali, ia adalah prasasti hukum dan peradaban yang menyatukan 17 ribu pulau, ratusan etnis, dan ribuan bahasa ke dalam satu ikatan kebangsaan. Tetapi sayangnya, ada upaya sebagian orang untuk menutup jasa sang perancangnya—Sultan Hamid II Alkadrie, putra Kalimantan Barat.
Fakta Konstitusional, Pasal 36C UUD 1945 dengan tegas menyatakan: “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” Pertanyaan hukum muncul: siapa perancang lambang negara tersebut? Jawabannya jelas, Sultan Hamid II. Rancangan beliau ditetapkan secara resmi dalam Sidang Kabinet RIS pada 11 Februari 1950, kemudian diumumkan dalam Berita Negara Parlemen RIS nomor 2 tanggal 17 Februari 1950. Fakta ini bukan opini, melainkan dokumen negara. Maka, ketika masyarakat Kalimantan Barat mengajukan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional, itu bukan sekadar romantisme lokal, tetapi penegakan keadilan sejarah hukum.
Kualat Sejarah dalam Semiotika Hukum
Dalam kerangka semiotika hukum, lambang negara adalah teks hukum visual yang memuat ideologi bangsa. Menutup jasa perancangnya sama saja dengan merobek lembaran genealogi hukum bangsa.Di sinilah istilah “kualat” bekerja: bukan dalam makna gaib, tetapi konsekuensi hukum sejarah. Siapa yang menutup kebenaran, ia kehilangan legitimasi moral; siapa yang memfitnah, ia akan tertindas oleh kebenaran yang tak bisa dipadamkan.
Kuda Troya Politik, Ketika Hendro Priyono menuding bahwa demonstrasi masyarakat Kalimantan Barat soal pahlawan nasional ada “dalangnya”, narasi ini sesungguhnya adalah Kuda Troya Politik. Sebuah strategi membungkus aspirasi rakyat dengan tuduhan seolah ada agenda tersembunyi. Bandingkan padahal, yang diperjuangkan masyarakat Kalbar hanyalah pencatatan kebenaran sejarah: mengakui Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara. Tidak lebih, tidak kurang.
Pancasila Sebagai Rekonsiliasi Pancasila bukan hanya ideologi, ia adalah etika hukum. Keadilan Sosial dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menuntut agar bangsa ini mengakui jasa siapa pun yang telah meletakkan batu penjuru. Sultan Hamid II memang manusia biasa, dengan segala kelemahan dan kontroversinya. Tetapi jasanya dalam merancang Garuda Pancasila adalah warisan yang tak boleh dinafikan. Mengabaikan fakta itu justru bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan keadaban hukum.
Sebagai Negara hukum Pancasila tidak boleh larut dalam framing politik yang mengubur fakta. Sejarah adalah hakim yang paling jujur, karena ia tercatat dalam arsip dan prasasti bangsa. Jika jasa Sultan Hamid II tetap ditutup, maka bangsa ini akan kualat sejarah—karena mengkhianati simbol kebangsaan yang lahir dari tangan putra Kalimantan Barat. “Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan dalam Sidang Kabinet RIS pada 11 Februari 1950, dan diumumkan dalam Berita Negara Parlemen RIS nomor 2 tanggal 17 Februari 1950. Inilah prasasti hukum yang tak bisa dipalsukan oleh narasi politik siapa pun.” Dalam konteks sejarah, Sultan Hamid II pernah difitnah sebagai dalang pemberontakan dan dianggap tidak layak menjadi pahlawan nasional, padahal fakta historis membuktikan jasa besarnya dalam merancang lambang negara Garuda Pancasila yang hingga kini menjadi simbol kedaulatan Indonesia. Fitnah politik ini menjadi semacam “kuda Troya” yang disusupkan dalam narasi sejarah bangsa, sehingga menutupi kebenaran demi kepentingan kekuasaan saat itu.
Kini, dalam pernyataan Hendro Priyono bahwa demonstrasi yang marak terjadi di Indonesia ada dalangnya, kita bisa membaca pola rekayasa politik yang serupa: sebuah framing yang menempatkan gerakan rakyat bukan sebagai ekspresi nurani demokrasi Pancasila, melainkan sekadar produk manipulasi elit. Pernyataan itu ibarat menghidupkan kembali logika politik lama: menutup ruang kritik dengan tuduhan adanya “dalang”, sehingga substansi aspirasi masyarakat justru terabaikan. Secara semiotika hukum, kita menemukan simbol berulang:
1. Dalang politik – pada masa Sultan Hamid II, tuduhan itu dijadikan alat delegitimasi, hingga mengaburkan jasa monumental beliau dalam sejarah konstitusi dan simbol negara.
2. Dalang demonstrasi – pada masa kini, menjadi simbol pembatasan ruang demokrasi rakyat, di mana suara kritis dianggap bukan murni dari rakyat, melainkan manipulasi pihak tersembunyi.
Menarik dengan korelasi ini, kita bisa membaca bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi persoalan yang sama: narasi dalang sebagai alat hegemoni kekuasaan. Seharusnya, kita belajar dari kasus Sultan Hamid II, bagaimana sejarah bisa diluruskan setelah puluhan tahun, agar tidak mengulang kesalahan yang sama dengan menutup aspirasi rakyat melalui tuduhan dalang.Maka, jika Pancasila benar-benar dijadikan landasan, demonstrasi adalah ekspresi kedaulatan rakyat, bukan semata-mata konspirasi elit. Tuduhan dalang hanya memperlihatkan ketakutan penguasa pada suara nurani rakyat yang berputar dalam “gilir balik sejarah”.
Analisis pasal-pasal tambahan (misalnya UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan) agar opini ini lebih kokoh dalam aspek yuridis formal pengajuan Pahlawan Nasional? jawaban sekali lagi dalam catatan sejarah bangsa ini, Sultan Hamid II merupakan sosok yang tidak dapat dilepaskan dari perjalanan berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Dialah perancang lambang negara yang kita kenal hari ini sebagai Garuda Pancasila—sebuah karya agung yang disahkan dalam sidang Parlemen RIS tanggal 11 Februari 1950. Pada titik inilah lahir Rajawali Garuda Pancasila, sebagai identitas resmi kenegaraan yang kemudian melekat hingga ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mengungkap kembali, dalam perjalanan sejarah, jasa besar Sultan Hamid II kerap dinodai oleh fitnah politik dan stigma pengkhianatan. Padahal, fakta sejarah menunjukkan bahwa Sultan Hamid II adalah konseptor simbol persatuan bangsa, bukan simbol perpecahan. Karena itu, ketika masyarakat Kalimantan Barat mengajukan Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional, sesungguhnya mereka sedang memperjuangkan keadilan sejarah yang terabaikan selama puluhan tahun. Di tengah perjuangan ini, muncul pernyataan Jenderal (Purn) Hendro Priyono yang menyebutkan bahwa “demonstrasi hari ini ada dalangnya”. Pernyataan ini dapat dipahami dalam dua konteks: pertama, sebagai peringatan politik, dan kedua, sebagai bentuk framing wacana publik. Analogi “dalang” dan “kuda Troya politik” yang disampaikan itu menunjukkan adanya upaya mengendalikan narasi di balik gejolak sosial.
Jika kita tarik garis semiotikanya, fitnah terhadap Sultan Hamid II dulu, dan tuduhan adanya “dalang” di balik demonstrasi kini, sama-sama merupakan strategi politik pengaburan makna. Sejarah mengajarkan, ketika aktor politik ingin melemahkan lawan atau membelokkan makna perjuangan rakyat, maka stigma, fitnah, dan isu “dalang” selalu digunakan sebagai instrumen delegitimasi. Oleh karena itu maka, dalam bingkai semiotika hukum, sejarah Sultan Hamid II dan pernyataan Hendro Priyono sama-sama menyingkap pola bahwa stigma adalah instrumen kekuasaan. Fitnah masa lalu menunda pengakuan jasa Sultan Hamid II; framing politik hari ini mencoba melemahkan legitimasi suara rakyat di jalanan.
Semiotika Hukum “kualat” terhadap fitnah pada Sultan Hamid II ketika pengajuan gelar Pahlawan Nasional bisa dipahami dalam beberapa lapis makna:
1. Makna Sejarah (denotasi hukum), Fakta historis: Sultan Hamid II adalah perancang resmi lambang negara Garuda Pancasila (awal disebut lambang RIS) yang disahkan oleh Parlemen RIS 11 Februari 1950.Jadi, jasa beliau bukanlah mitos, melainkan lex historica yang tertuang dalam dokumen negara
2. Makna Politik (konotasi hukum), Ketika ada pihak yang mencoba menutupi jasa beliau dengan narasi negatif, itu bisa dipandang sebagai bentuk political framing. Misalnya tuduhan atau insinuasi bahwa ada “dalang” di balik demonstrasi masyarakat Kalbar untuk memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional bagi Sultan Hamid II, padahal aspirasi itu murni historis dan kultural.
3. Makna Simbolik (semiotika peradaban), Kuda Troya di sini bisa dibaca sebagai simbol adanya infiltrasi politik: memakai isu lokal (demonstrasi) untuk tujuan lain, misalnya menjaga dominasi narasi tertentu dalam sejarah bangsa.Seperti kuda kayu dalam mitologi Yunani, tampilannya hadiah, tetapi isinya pasukan penghancur dari dalam.
4. Makna Etika Hukum (rechtidee Pancasila),Dalam Pancasila, Keadilan Sosial menuntut keadilan dalam memori sejarah. Menghapus jasa atau memfitnah tokoh pendiri lambang negara sama saja dengan merobek lembaran keadilan sejarah.n“Kualat” di sini bukan sekadar makna mistis, melainkan konsekuensi etis dan historis: siapa yang menutup jasa kebenaran, pada akhirnya akan kehilangan legitimasi moralnya sendiri.
5. Makna Resolusi (semiotika rekonsiliasi), Jalan keluar dari benturan narasi ini bukan dengan saling menuding, melainkan membuka dokumen negara, fakta sejarah, dan mengedepankan penelitian akademis.bJustru dengan mengakui jasa Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara, Indonesia menegakkan kebenaran simbolik sekaligus keadilan sejarah.
1. Fakta Sejarah dan Legitimasi Konstitusional, Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan:”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” Semua Pertanyaan mendasar: siapa perancang lambang negara tersebut? Jawaban historis sudah jelas: Sultan Hamid II Alkadrie, Menteri Negara Zonder Porto Folio dalam Kabinet RIS, yang hasil karyanya ditetapkan oleh Parlemen RIS pada 11 Februari 1950. Fakta ini tidak bisa dipungkiri, karena tertuang dalam dokumen resmi negara dan diakui dalam arsip pemerintahan.Maka, ketika masyarakat Kalimantan Barat memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional untuk Sultan Hamid II, itu bukan gerakan tanpa dasar, melainkan upaya menegakkan keadilan sejarah.
2. Semiotika Hukum dan Kualat Sejarah, Dalam perspektif semiotika hukum, setiap lambang negara adalah prasasti peradaban. Garuda Pancasila bukan sekadar elang rajawali, tetapi representasi ideologi Pancasila sebagai rechtidee bangsa. Maka, memfitnah atau menutup jasa Sultan Hamid II sama saja dengan memutus rantai genealogi hukum bangsa. Di sinilah istilah “kualat” menemukan makna hukumnya: bukan kutukan gaib, melainkan konsekuensi etis bahwa siapa yang menolak kebenaran sejarah, akan kehilangan legitimasi moral dan politiknya sendiri.-
3. Kuda Troya Politik dalam Narasi Hendro Priyono, Pernyataan Hendro Priyono bahwa demonstrasi memiliki “dalang” adalah bentuk framing politik. Seolah-olah aspirasi masyarakat Kalimantan Barat direduksi menjadi sekadar permainan bayangan. Analisis semiotika menyebut fenomena ini sebagai “Kuda Troya Politik”: sebuah simbol infiltrasi narasi, di mana aspirasi murni rakyat ditunggangi atau dicurigai sebagai agenda tersembunyi. Padahal, tuntutan masyarakat untuk mengakui Sultan Hamid II hanyalah pencarian keadilan sejarah, bukan makar politik.
4. Pancasila sebagai Etika Rekonsiliasi, Pancasila mengajarkan Keadilan Sosial dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Itu berarti negara wajib memberi penghargaan yang layak kepada para tokoh bangsa sesuai fakta sejarah.Mengakui Sultan Hamid II bukan berarti menutup mata pada kontroversi masa lalu, tetapi menegakkan prinsip rekonsiliasi sejarah—bahwa bangsa besar adalah bangsa yang berani mengakui jasa pendirinya, sekalipun mereka manusia yang tidak lepas dari kekurangan.
Jalan Keadilan Sejarah, Negara hukum Pancasila tidak boleh terjebak pada virus framing politik yang menutupi fakta sejarah. Sejarah bukan untuk dikubur, melainkan untuk dipelajari dan diwariskan.Maka, pengakuan terhadap Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional adalah bagian dari rekonsiliasi hukum, sejarah, dan politik bangsa. Jika tidak, maka bangsa ini berisiko kualat sejarah—karena mengingkari simbol kebangsaan yang lahir dari tangan seorang putra Kalimantan Barat. “Setiap simbol hukum, termasuk Garuda Pancasila, adalah prasasti peradaban. Menutup kebenaran sejarah tentang siapa perancangnya sama saja dengan memutus tali genealogi hukum bangsa. Di situlah kualat itu bekerja, bukan karena kutukan gaib, melainkan karena hukum semiotik sejarah tidak pernah bisa dibohongi.” Jika bangsa ini ingin adil, maka rekonsiliasi sejarah harus dilakukan. Mengakui Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar penghormatan pada seorang tokoh, melainkan langkah hukum, politik, dan moral untuk mengakhiri tradisi fitnah sebagai alat legitimasi.